Senin, 17 Desember 2012

Ketika harus merubah arah

Pagi itu Wati bersiap-siap pergi ke sekolah. Dengan pakaian seragam lengkap dan tas ransel di punggung, Wati pun pergi meninggalkan rumah. Sepuluh menit berlalu, motor Wati kini telah melenggang di jalanan aspal yang mulus. Jalanan yang sepi membuatnya berkendara dengan santai, sembari menikmati perjalanan menuju sekolah.

Hingga tiba-tiba, di pertigaan sekitar satu kilometer dari sekolah Wati, sebuah plang pemberitahuan bersandarkan drum tegak berdiri di tengah jalan. “Maaf jalur ditutup. Ada pekerjaan jalan.” Tumpukan batu-batu kali menutup hampir seluruh badan jalan. Lintasan yang tadinya mulus beraspal kini nampak cekung tak beraturan bekas dikeruk. Sebuah buldoser teronggok di salah satu sisi jalan. Tidak ada pilihan, setiap pengendara yang melintas harus mengambil jalan lain.


---

Sekarang jika tokoh yang berkendara di jalanan tersebut adalah kita, apa yang akan Sobat lakukan? Apa yang kita lakukan ketika dalam sebuah perjalanan ada hambatan yang tak mungkin dilalui dengan menerjangnya begitu saja? Mungkin sebagian besar dari kita akan menjawab putar arah dan mengambil jalan lain. Tentu saja, tidak mungkin kan kita memutuskan untuk pulang dan tidak jadi pergi ke sekolah karena jalanan sedang diperbaiki? Sebagai manusia yang berakal, kita akan mencari jalur lain yang bisa dilalui untuk sampai ke tempat tujuan. Meski tidak jarang jalan yang kita lalui harus ditempuh lebih lama dengan rute yang lebih panjang.

Ibarat orang yang dalam perjalanan, seperti itulah hidup kita sobat. Kita selalu berusaha berjalan kearah mana tujuan yang hendak di capai. Seandainya di tengah perjalanan ada halangan yang menghambat perjalanan, mau tidak mau kita harus bergerak agar usaha mencapai tempat tujuan dapat terlaksana dengan segera. Entah itu mencari alternatif jalan yang lebih aman, menunggu kemacetan, atau sekadar bertanya kepada orang lain ketika kita merasa tak tahu arah yang harus dituju. Ada banyak pilihan yang dapat kita lakukan, termasuk kembali ke rumah dengan tangan hampa pun adalah sebuah pilihan.

Hidup penuh dnegan cabang-cabang jalan. Kita bebas memilih jalan mana yang akan ditempuh. Dan masing-masing jalan memiliki tujuan dan konsekuensi masing-masing. Tiap-tiap jalan memiliki pemandangan yang berbeda, suasana yang berbeda, serta tantangan yang berbeda pula. Namun jika kita memiliki keinginan kuat untuk mencapai satu tujuan, tentu raga akan dikuatkan dengan segala tantangan, hati akan diteguhkan dengan berbagai cobaan sehingga senantiasa menikmati proses yang dilalui.

Jika ternyata suatu ketika kita harus melangkah berputar arah dan harus mengambil jalan lain, itu semua di jalani demi tujuan yang lebih mulia. Kita tidak perlu berpusing ria karena sudah mempunyai gambaran yang jelas ke mana harus melangkah. Mengapa begitu? Karena kita telah menetapkan satu tujuan yang kuat. Perubahan-perubahan yang kita lakukan pun akan mengarah pada tujuan yang kita yakini sebagai kebenaran. Ada arah yang jelas ke mana kaki harus melangkah, ke mana pikiran akan difokuskan, dan ke mana hati harus diikuti

Lalu pertanyaannya, apa tujuan hidup kita? Sudahkah kita melakukan usaha maksimal untuk mencapai tujuan hidup tersebut? Sudahkah perubahan-perubahan terarah kita lakukan untuk mengapai semua mimpi dan harapan? Apapun jawabannya, semoga kita semua senantiasa diberi semangat untuk selalu memperbaiki diri dan merubah hidup dengan tujuan yang lebih terarah. Untuk apa lagi? Tak lain guna meraih ridho-Nya. Aamiin.

Minggu, 16 Desember 2012

Penjara [Tidak] Membuat Jera

Lembaga Pemasyarakatan atau yang lebih akrab dikenal dengan istilah penjara kini seolah mengalami pergeseran fungsi. Di tengah kasus kriminalitas dan hukum yang membanjir di negeri ini, penjara yang semestinya difungsikan untuk memberikan efek jera bagi narapidana (napi) justru berubah menjadi markas besar tindak kejahatan. Seperti dilansir Harian Jogja Edisi Selasa 4 Desember 2012 lalu, berbagai penyimpangan di penjara hingga saat ini masih menjadi momok bagi upaya penegakan keadilan di Indonesia.

Sejumlah kasus seperti prostitusi, judi, bahkan peredaran narkoba yang bisa terjadi dengan bebas di penjara perlu mendapat catatan tersendiri. Minimnya peralatan penunjang kerja, kurangnya pengawasan, hingga oknum sipir “nakal” selama ini selalu dijadikan “alibi” sejumlah pelanggaran tersebut. Padahal selain faktor-faktor tadi, kita perlu mengantisipasi adanya dugaan kejahatan yang sistematis. Tindak penyimpangan di penjara yang terus berulang setiap tahunnya dan seolah tak pernah putus ini patut dicuragai sebagai kejahatan yang disengaja dan “dilestarikan” oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Kerjasama sejumlah oknum ini terjadi tidak lain karena mereka merasa diuntungkan dengan pelanggaran yang terjadi, sehingga lupa akan akibat jangka panjang yang ditimbulkan.

Atas nama uang, penegakan hukum kembali tergadaikan. Sebuah pepatah “ada harga ada mutu” seolah turut berlaku di tempat yang sepatutnya memberikan pendidikan moral tersebut. Kini penjara tak ubahnya seperti persewaan apartemen di mana penghuni bisa memilih “tempat tinggal” beserta fasilitasnya sesuai dengan anggaran kantong masing-masing. Ruangan dengan jeruji besi yang selama ini melekat dalam istilah penjara dapat disulap bak kamar hotel berfasilitas mewah. Slogan yang kemudian berlaku hampir di semua lini adalah “semua bisa diatur dengan uang”.

Kasus pelaku suap jaksa, Artalita Suryani yang tinggal dalam penjara mewah adalah salah satu sisi gunung es cacat hukum yang tampak di permukaan. Padahal Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan dengan tegas menjelaskan adanya larangan memberikan perbedaan antara napi yang satu dengan yang lain. Selain itu, dalam Pasal 2 Undang-Undang Lembaga Pemasyarakatan turut menyebutkan bahwa sistem pemasyarakatan yang dicanangkan dalam lembaga tersebut diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat. Ironisnya, seorang napi yang keluar dari penjara justru seringkali mewujud sebagai pelaku kejahatan yang lebih “handal dan profesional” daripada berubah menjadi warga negara yang patuh hukum.

Pada dasarnya, setiap tindakan yang berlaku di Lembaga Pemasyarakatan sudah sepatutnya diarahkan demi pembelajaran dan penyiapan mental warga negara yang berkarakter. Permasalahan ini terlihat pelik memang, tetapi bagaimanapun tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Hanya saja, prinsip ini akan benar-benar berfungsi ketika semua pihak berkomitmen untuk melakukan reformasi hukum yang menyeluruh. Di samping itu, pendidikan yang baik dalam berbagai level turut memegang peranan penting dalam menciptakan warga negara yang mencintai bangsanya, baik dalam bentuk ideologi maupun dalam bersikap.



Diterbitkan oleh Harian Jogja Edisi 11 Desember 2012

Selasa, 27 November 2012

Come On!

Seringkali kemalasan berjejalan memenuhi hatiku. Kemalasan seperti jeratan tali yang mengikat tubuhku dengan kuat. Kemalasan seperti mampu menyemai bibit-bibit alasan untuk membiarkan sebuah kebaikan tertunda dilaksanakan.

Kini, aku seperti terjebak dalam kemalasan yang melenakan. Oh God.. I wanna change my life!

Aku benci dengan kemalasan. Tapi malas selalu hadir dalam waktu-waktuku. Terlebih WAKTU LUANG. Malas mungkin seperti heroin. Yang kata orang menenangkan dan memberi kepuasaan sesaat, tapi mematikan akibatnya.

Aku benci malas. Malas belajarlah, malas menulis, malas berbenah, ataupun malas untuk segera memulai kebaikan.

Seseorang bilang kepadaku malas adalah masalah klasik. Tapi bagiku malas adalah masalah besar bagi perkembangan hidupku. Malas adalah permasalahan yang selalu kontemporer karena tak kenal waktu dapat meruntuhkan niat-niat baik yang sedang kita bangun. Karena malas telah menyebabkan orang-orang tak mau segera bergerak. Malas membuat perubahan-perubahan yang harusnya terwujud menjadi tertunda. Atau seringkali, malas bahkan mengubur nama-nama calon pembaharu, calon pahlawan, calon inisiator, calon orang-orang yang sejatinya dapat menyetak sejarah tapi enggan meraihnya.

Haruskah aku berada dalam kondisi yang tertekan dan penuh ancaman untuk menghalau rasa malas ini? Haruskah aku dirutuki hujan batu agar mau sadar dan bangkit dari kemalasan? Na'udzubillah.

Kita memang patut belajar dari mereka yang senantiasa mengubur dalam-dalam rasa malas. Seperti orang-orang Palestina yang tak pernah lelah untuk berangkat perang, walau hanya batu yang ada di tangan. Mereka tak lelah menuntut ilmu, walau tak tahu pasti kapan dapat menerapkan ilmunya. Mereka tak pernah berhenti untuk berjuang, meski harus bertaruh nyawa. Ya, mereka seperti tak punya rasa malas. Karena mereka tahu, ada kehidupan yang lebih baik dijanjikan setelah kematian. Ada balasan yang jauh lebih indah atas apa yang mereka perjuangkan. Ada nama Allah yang menggema di ruang-ruang hati mereka.

Ya. Semoga hati kita masih mau diajak untuk berbuat baik. Semoga Allah masih hadir dalam setiap langkah yang kita ambil. Bismillah. semoga keistiqomahan senantiasa membersamai niat yang kita tebar. Aamiin..

Senin, 01 Oktober 2012

Inilah Bukti

Di sebuah perjalanan pengembaraan mencari makna. Lensa mataku tiba-tiba tak sengaja membidik sebuah objek yang tersisip dalam luasnya belantara raya. Seketika aku termenenung, terpana akan keajaiban di depan mata. Bukan saja karena keindahan perwujudan fisiknya, namun jauh lebih dalam di sana, ada setitik cahaya yang berpendar menentramkan jiwa. Ada terang yang menembus selimut kabut. Bukannya tak pernah melihat hal ini sebelumnya. Melainkan saat ini semuanya dalam kondisi yang berbeda. Sangat berbeda mungkin. Sebuah jawaban akan keresahan dan kesanksian yang selama ini menggema memenuhi ruang ruang dunia.

*****

(1)Nuun, demi kalam dan apa yang mereka tulis,
(2)berkat ni’mat Tuhan-mu, kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila.
(3)Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya.
(4)Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang luhur.
(5)Maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir) pun akan melihat,
(6)siapa di antara kamu yang gila.
(7)Sesungguhnya Tuhan-mu, Dia-lah yang paling mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya; dan Dia-lah yang paling mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Muhammad, sosok yang selalu tercurah dengan doa dan pujian untuknya. Muhammad, pribadi yang amat dicintai oleh kaummnya. Muhammad, seorang yang benar-benar berbudi pekerti luhur; sebagaimana keterangan yang tertulis dalam firman-Nya.
Tak peduli orang mau berkata apa. Tak peduli mereka menuliskan tentang apa. Tak peduli sumpah serapah atas dirinya. Muhammad tak pernah turun derajatnya. Muhammad sekali-kali bukan orang gila. Muhammad selalu dirindukan. Muhammad tetap menjadi tauladan.

*****

Kembali kuselami lautan makna tak bertepi dalam suratan-suratan di depanku. Kedua bola mataku segera menyapu simbol-simbol penanda yang dapat kukais untuk mengikat memoriku. Berharap suatu saat tatkala aku menjumpainya lagi di tempat ini, akan selalu kuingat kisah tentang perjuangan pemeran utama dalam pertarungan wacana penduduk dunia.

Akhirnya, inilah bukti. Atas kemuliaan jiwa tokoh utama. Atas caci maki yang tak bertepi. Atas keresahan orang-orang yang amat mencintai sosoknya. Atas kesanksian yang masih mengudara di atmosfer mayapada.

Kamis, 06 September 2012

Sebelum Gelap Menyergap

Jam tanganku menunjukkan pukul 03.15 Waktu Indonesia Bagian Timur ketika kutuliskan rangkaian huruf di layar laptop 12,1 inchi itu. Tak seperti biasanya, aliran listrik di rumah Mama Witi dan Papa Irwan ini belum padam. Hari-hari sebelumnya, ketika jarum jam menunjukkan pukul 22.00 ruangan sudah berselimut gulita. Mulai kemarin malam, lampu padam cukup larut. Saat itu pula kuluangkan untuk sekadar berbagi asa barang satu dua kalimat ke dalam file Microsoft word. Tepat saat pergantian hari pukul 24.00, tak kuasa kulanjutkan goresan cerita di kotak ajaib bermuatan ribuan software milikku. Mendadak baterai laptopku kritis lantaran arus listrik terputus.


Ya, kami hanya bisa menikmati listrik ketika maghrib mulai menjelang. Maklum saja, Desa Bajo yang berada di sebuah pulau bernama Botang Lomang ini belum teraliri jaringan listrik dari PLN. Ironis memang. Di tengah jutaan orang di Pulau Jawa sana dengan leluasanya menghambur-hamburkan uang demi menikmati listrik ribuan kilowatt per hari, di waktu yang sama masyarakat di Halmahera Selatan ini harus rela iuran uang minyak agar rumahnya tak dimakan gelap setiap malamnya.


Sudah beberapa hari kami tinggal di rumah keluarga piara. Selama lima minggu ke depan, aku dan teman-teman mahasiswa UGM akan mengadakan program Kuliah Kerja Nyata atau yang akrab disebut KKN. Kurang lebih seminggu perjalanan dari Jogja naik Hercules, kami baru dapat menginjakkan kaki di pulau ini. Bagaimana tidak, pesawat TNI AU yang kami tumpangi itu tidak langsung menuju Halmahera.


Dari bandara Halim Perdana Kusuma kami terbang ke Malang. Setelah transit sekitar 15 menit, Hercules melesat menuju Makasar. Berdiri selama kurang lebih dua jam di Hercules dalam kondisi mengantuk membuat badanku pegal-pegal. Namun perjalanan masih panjang. Sejumlah penumpang turun di Makasar. Beberapa menit berselang setelah kami usai menjama’ sholat dzuhur dan ashar, pesawat harus kembali mengudara menuju Gorontalo.


Di gorontalo, kusempatkan untuk sekadar membasuh wajah barang sebentar. Tak lama kemudian raungan Hercules pun semakin menjadi mengantarkan kami menuju Manado. Hari sudah gelap ketika roda pesawat menyentuh bandara Manado. Bulan bersinar dengan terangnya layaknya bolam lampu raksasa yang menghiasi langit malam.


Setelah berbincang kepada para perwira TNI, atas kebaikan mereka aku dan teman-teman perempuanku ditempatkan di mes anggota dengan ruangan tersendiri. Berbeda dengan teman-temanku yang laki-laki, mereka tidur bersama puluhan penumpang Hercules lain yang turut menginap sebelum besok pagi berangkat ke Morotai. Ada syukur yang membuncah. Inilah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Manado.


Usai bersih diri dan sholat, kami sempatkan untuk mencari makan malam di luar. Setelah berjalan kurang lebih 15 menit ke arah jalan raya, kami menemukan sebuah rumah makan yang menyediakan nasi goreng, sayur juga sate. Di sela-sela makan, kami baru sadar ternyata rumah makan itu milik orang Jawa Timur. Ditulis dengan jelas di papan menu yang ditempel di dinding setelah pintu masuk, “Warung Makan Jawa Timur”. Aku dan temanku tertawa geli. Jauh-jauh ke Manado, makannya nasi goreng Jawa Timur juga. Memang sudah rejekinya yang empunya rumah makan pikirku.


Selesai makan, kami jalan-jalan ke Bandara Internasional Sam Ratulangi, Manado. Beberapa teman yang persediaan uang tunainya menipis mengambil ke ATM bandara. Beberapa jepretan foto tak lupa kami abadikan untuk kenang-kenangan.
Malam semakin larut, kaki sudah pegal berjalan. Belum lagi ditambah kepenatan perjalanan seharian di Hercules yang lebih mirip mikrolet angutan kota daripada disebut pesawat. Namanya juga gratisan, semua harus disyukuri pikir kami. Bagaimanapun pengalaman naik Hercules tak bisa tergantikan. Dengan langkah gontai kami akhirnya memutuskan untuk istirahat. Beberapa teman laki-laki entah asyik mengembara ke mana. Ada sedikit rasa iri sebenarnya, karena mereka bisa jalan-jalan keliling Manado. Tapi apa daya, kekecewaan ditinggal pergi duluan membuat kami akhirnya memutuskan untuk menikmati bermalam di mes TNI. Seiring mata terpejam, kami berharap perjalanan esok akan lancar dan menyenangkan. Perjalanan panjang akan menanti ketika esok subuh menjelang.


***


Suara diesel masih terdengar mederu beberapa ratus meter dari pondok Mama Witi. Di rumah Mama Jo, tetangga sebelah, tempat teman laki-laki satu kelompok sub unitku bermalam sudah tak ada tanda-tanda kehidupan. Sejak pukul 23.00 tadi terangnya bolam telah berganti dengan temaram lampu minyak yang digantung di ruang tengah.


Gelap memang terkadang menyakitkan. Sejenak aku berfikir, betapa sengsaranya bila tak ada cahaya yang menembus pupil mataku dan semuanya menjadi hitam. Meski demikian, aku percaya ada hikmah di balik gelap. Dengan gelap, kita belajar untuk menghargai masa terang. Dengan gelap, kita belajar untuk melihat ke dalam diri kita dan mencari berkas-berkas terang yang mungkin terselip dalam hati yang berselimut kelam. Ya, gelap dan terang adalah irama, di mana masing-masing saling mengisi untuk menciptakan harmonisasi kehidupan.


Tiittt.. Tiittt. Tiba-tiba lampu padam seketika. Laptopku sekarat sudah. Ceritaku terputus di sini. Wassalam.



12 Juli 2012, 03.53 WIT
Diedit ulang 7 September 2012, 11.50 WIB






Rabu, 18 April 2012

Adalah Bapak

Malam ini adalah dateline sayembara menulis yang diselenggarakan sebuah penerbit ternama negeri ini. Jari-jariku asyik bercengkrama dengan tust-tust keyboard sejak tiga setengah jam yang lalu. Kedua bola mataku hampir tak beranjak dari layar 12,1 inch Acer Aspire 2920Z di depanku. Kursor di lembar dokumen word-ku tak jemu berkedap-kedip, seolah ingin segera menggoreskan sejuta untaian kata. Sedang pikiranku masih melanglang buana, mengenang masa dua tahun lalu, ketika gelar mahasiswa masih segar kuterima.
~~


Beberapa minggu lagi Ujian Akhir Semester (UAS) hadir menyapa. Seperti biasanya, tugas-tugas makalah take home pengganti UAS mulai berdatangan. Berbeda dengan semester lalu, kali ini batas minimal naskah semakin meningkat, yaitu seribu lima ratus kata. Sedang tugas makalah lain menuntut paling tidak mencapai sepuluh halaman kuarto.
Tidak adanya komputer di rumah menuntutku untuk memutar otak agar tugas ujian terselesaikan sebelum dateline. Pernah suatu ketika aku meminta Bapak membelikan laptop untuk keperluan tugas-tugasku. Namun karena alasan tak ada dana, Bapak serta-merta menolaknya. Berkali-kali kujelalaskan betapa pentingnya laptop itu bagi kelancaran studiku kepada Bapak. Tetapi respon Bapak masih sama, intinya kalau tidak sangat mendesak, tidak perlu membeli “barang mewah” dengan harga melangit itu.

Akhirnya, kuputuskan memanfaatkan jeda waktu kuliah untuk mengetik naskah di perpustakaan. Hitung-hitung dapat mengerjakan tugas sekaligus gratis searching data. Dengan begitu aku tak perlu merepotkan keluarga Om-ku karena seringkali memakai komputernya hingga larut malam. Selain itu, aku tak perlu susah-susah pergi ke warung internet di daerahku yang jaraknya mencapai tiga hingga lima kilometer. Berhari-hari aku ke perpustakaan usai kuliah untuk mengerjakan tugas hingga malam menjelang. Hingga suatu ketika, tibalah saat kesabaranku diuji ketangguhannya.
Hari itu seperti sebelumnya, aku ke perpustakaan kampus tak jauh dari fakultasku untuk mengetik tugas. Dengan pertimbangan untuk mendapatkan data yang cukup, aku yang saat itu keasyikan di depan komputer pentium tiga yang lemot, akhirnya baru keluar perpustakaan sekitar pukul setengah delapan malam. Di parkiran fakultas, kulihat hanya tinggal dua motor yang masih tersisa. Satu motorku dan satunya lagi motor gedhe khusus lelaki yang terparkir gagah.

Sejenak kuamati ada yang ganjil dengan posisi motorku. Jaket yang tadinya kusampirkan hampir menutupi spidometer, kini terlilit di stang motor dan ditutupi helm. Jaketku yang lusuh kian kusut tak terkira. Batinku, “Iseng sekali orang yang melakukan perbuatan ini.”
Namun, aku merasa sangat heran ketika mendapati motorku dalam kondisi terkunci stang menghadap ke kanan. Padahal aku tidak merasa menguncinya saat kutinggalkan esok tadi. Saat berusaha aku geser maju, ternyata posisi gigi sepeda motorku tidak pada kondisi nol. Lalu aku mencoba memasukkan kunci motorku pada lubangnya. Namun, meski berulangkali kupaksa, badan kunciku tak berhasil masuk sepenuhnya. Seperti ada yang mengganjal di lubang kuncinya. Seketika jantungku berdetak lebih kencang. Kecurigaan mulai menyesap dalam dada.

Segera kucari bala bantuan. Beruntung ada satpam yang masih berjaga. Setelah dibongkar paksa, akhirnya stang motorku berhasil dipulihkan seperti kondisi semula. Aku pun pulang dengan perasaan sangat kacau. Seketika itu, aku merasa sangat kesal dengan bapakku. Sedih, kecewa, benci bercampur menjadi satu.
Pikirku, tega sekali Bapak membiarkan putri sulungnya hampir setiap malam pulang seorang diri menempuh jarak Sleman-Bantul sejauh 35 km. Belum lagi jalanan yang dilewati cukup sepi dan kurang penerangan. Bagaimana jika sewaktu-waktu ada penjahat yang merampas harta dan membahayakan jiwaku? Tidakkah Bapak khawatir dengan keadaanku? Bagaimana bisa Bapak tak mengabulkan permohonanku membeli laptop, sedang hampir saja motorku hilang digondol maling.
~~

“Motornya rusaaak…,” begitu teriakku kesal saat Bapak keluar dari pintu depan sesampainya aku tiba di rumah. Tentu saja Bapak cukup terkejut dengan pertanyaanku. Pulang-pulang bukannya mengucapkan salam tetapi justru memasang muka masam.
“Rusak yo wis,” jawab Bapak singkat, seolah sudah biasa mendengar keluhanku. Tak heran, motorku memang langganan “ngadat” karena jarang diservis.
“Bapak nyebelin.. Bapak nyebelin.. Bapak nyebelin..,” seketika kumaki Bapak sekenanya. Entah terhasut setan dari mana, kejengkelanku seperti sudah naik ke ubun-ubun. Tak peduli apa komentarnya, segera aku menghambur ke kamar dan mengangis sejadinya.
“Beliin laptop tho Pak.. Motornya mau dicolong orang gara-gara aku kelamaan garap tugas di Perpus. Untung bisa ngunci stang sendiri. Nek ndak bisa gimana?” teriakku protes tanpa pikir panjang.
“Bapak itu punya duit po piye? Tau bapaknnya kerja ndak mesthi kok,” teriak Bapak tak kalah keras. Bapak yang malam itu lelah mengurusi tadarusan bersama di rumahku, emosinya mulai tersulut. Belum selesai membereskan perlengkapan yang dipakai tadarusan, kini Bapak harus direpotkan dengan omelan anaknya.
“Sapine Bapak kan masih ada, itu buat apa? Beliin laptop tho Pak.. Sama anaknya sendiri kok pelit!” Tak aku hiraukan kata-kata Bapak. Bagiku Bapak sangat egois saat itu.
“Terserah! Nek mau nagis sana nangis,” pungkas Bapak seketika.
~~

Kurang lebih satu minggu kemudian Bapak memberiku uang sekian juta. Untuk apa lagi, kalau bukan menyenangkan hati anaknya agar mendapatkan laptop yang diimpikannya. Dengan kebahagiaan tak terkira, segera kubeli laptop bekas dengan kondisi yang masih bagus dari teman kuliahku.
Belakangan aku baru tahu, Bapak menjual sapinya kepada seorang saudara yang kerja di Jakarta. Dengan sistem bagi hasil, sapi itu tetap diserahkan pemeliharaannya kepada Bapak. Jika sudah beranak, maka nilai jual anak sapi itu nantinya akan dibagi dua. Ini kedua kalinya Bapak merelakan sapi yang telah dipelihara bertahun-tahun untuk keperluan kuliahku. Kurang lebih setengah tahun sebelumnya, sapi yang dijadikan investasi andalan keluarga telah dipertaruhkan sebagai jaminanku masuk ke perguruan tinggi idaman.

Ya, hingga kini Bapak masih berpayah-payah merawat sapi yang statusnya bukan miliknya sepenuhnya. Setiap harinya Bapak bisa mengangkat dua hingga tiga ikat besar rumput gajah seberat 40 kg dari sungai. Bertahun-tahun Bapak melakukan ini semua. Untuk siapa lagi kalau bukan keluarga, termasuk aku sebagai anaknya.

Walau lebih dari separuh rambutnya telah memutih, namun fisik bapakku masih sangat kuat. Badannya yang hitam legam karena terik matahari terlihat sangat berotot. Bukan akibat fitness tentunya, melainkan karena kerja serabutan membanting tulang demi keluarga. Mulai dari menggarap sawah, menjual beberapa hasil kebun, hingga menjadi buruh pengangkut pasir dijalani Bapak agar aku dan kedua adikku dapat tenang bersekolah.

Kini, sudah dua tahun laptop ini ada di tanganku. Sudah dua tahun sejak aku merengek seperti anak kecil minta dibelikan laptop, telah banyak yang berubah dari kebiasaan dan pengetahuanku. Aku yang saat SMA bahkan tak tahu cara memasukkan flashdisk ke komputer, kini aku sudah paham apa manfaat email. Aku pun mulai berkarya di blog dan tak asing lagi dengan facebook, twitter dan berbagai pernik dunia maya lainnya.



Namun, hampir tak ada yang berubah dari Bapak. Bapak masih sama sederhananya dengan dua atau bertahun-tahun lalu. Bahkan sampai saat ini pun, bapakku tak pernah memegang benda ajaib bernama laptop yang berharga jutaan rupiah itu. Bapak tak pernah menonton film yang aku copy dari teman-temanku di waktu senggangnya. Bapak tak pernah memainkan fitur-fitur game saat pikirannya ruwet dengan kendala ekonomi keluarga. Aku bahkan tak yakin apakah bapakku paham tentang fungsi laptop selain untuk mengetik.

Melihat aku asyik di depan laptop sudah cukup membuat Bapak bahagia. Bapak tak peduli dikatakan orang desa yang tidak melek teknologi. Dirinya tak malu menjadi orang yang sederhana. Jangankan punya handphone, Bapak membaca pun masih terbata. Maklum saja, Bapak tidak lulus Sekolah Dasar. Rumahnya dilalap jago merah ketika masih duduk di kelas dua. Karena kekurangan biaya, dan tak mau membebani orangtua, Bapak memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya.
Dari bapaklah aku belajar menjadi orang yang nerimo, apa adanya. Bagi orang yang sudah mengenalnya, Bapak mungkin bukanlah sosok kharismatik yang penuh wibawa. Pembawaannya jarang serius, bahkan seringkali berlebihan dalam bercanda. Namun demikian, bagiku Bapak adalah inspirasi yang tak pernah habis untuk digali.


Tak dapat dipungkiri, aku memang mendapatkan kesenangan dengan laptop yang kumiliki. Aku memperoleh pengalaman-pengalaman baru dengan benda canggih hasil rekayasa teknologi ini. Namun aku jauh lebih bersyukur karena memiliki seorang Bapak yang tak pernah lelah memberiku pelajaran hidup. Aku bersyukur karena masih diizinkan menikmati kebahagiaan memiliki seorang Bapak, harta yang lebih berharga dari intan dan permata.

Malam ini, ketika adik-adikku asyik bersenang-senang mencari hiburan, ada seorang yang masih bekerja demi melihat kami bahagia. Malam ini, ketika nenekku telah pulas dengan mimpinya, ada sosok pejuang mimpi yang masih terjaga. Malam ini ketika ibuku khusyuk mengikuti pengajian di desa sebelah, ada jiwa yang tengah berusaha membersamai doa dengan karya. Adalah Bapak; berjuang menembus dinginnya malam untuk mengatur pengairan sawah sesuai kebutuhan. Adalah Bapak, pahlawan yang tak silau akan gelar dan penghormatan.

Kamis, 15 Maret 2012

Saat memulai tulisan...




Awalnya, jemariku cukup lambat merangkai jejak kata dari tust-tust keboard ACER aspire 2920Z-ku. Entah sulit menemukan kata yang tepat, atau belum mendapatkan ilham yang terlihat brilian, tapi aku seringkali butuh waktu lama untuk memulai paragraf pertama. Apakah kurang pemanasan? Mungkin saja.

Lalu, apa yang kulakukan? Jawabannya, aku terus menulis. Apapun yang ada di pikiranku saat itu, segera kutuangkan dalam tulisan. Tidak terlalu nyambung secara urutan kalimat. Namun, kubiarkan saja otakku memandu apa yang harus kutiliskan sebagai sebuah ide. Sesekali, tombol backspace mendominasi praktik kerjaku membangun tulisan. Namun, setelah beberapa lama “memaksakan” diri di depan layar laptop 12,1 inch-ku, akhirnya aku pun mulai lancar menuangkan gagasan hingga berlembar-lembar halaman.

Intinya apa kawan? Untuk memulai sebuah tulisan, kita hanya perlu alat tulis, lalu segera menuangkan apa yang ada di pikiran kita. Baik dan buruk hasil tulisan itu urusan belakang, tapi setidaknya kita telah menghasilkan sebuah karya.

Jika kamu hanya membaca buku panduan memasak tanpa terjun langsung ke dapur dan mengolah beberapa bahan, maka jangan heran kalau kamu tak menghasilkan satu jenis makanan pun. Mengapa ada orang yang tak segera berkunjung ke rumah neneknya padahal rasa kangen sudah melanda? Jawabannya, karena dia tak segera berjalan menuju rumah sang nenek. Berbagai alasan pun dilontarkan sehingga semakin memperlama rencana kunjungannya.

Menulis adalah soal praktik. Sebagaimana kita tidak akan bisa menghasilkan makanan jika tak pernah memasak, sebuah karya tulis pun tak akan pernah hadir apabila kita tak segera mulai menulis. Masalah menarik tidaknya tulisan, enak tidaknya sajian yang kita suguhkan, itu masalah bagaimana kita belajar dari pengalaman yang dilakukan sebelumnya.

Kawan, menulis hanya masalah kebiasaan, begitu kata dosenku, Nunung Prajarto dalam bukunya “Tulis Saja! Kapan Lagi: Dasar Aplikasi Komunikasi Tertulis”. Bisa karena biasa. Lalu, jika banyak manfaat yang dapat kita tebar melalui sebuah tulisan, jika banyak inspirasi yang dapat kita bagi melalui sebuah karya tulis, mengapa tidak segera mulai menulis?
Kapan? Sekarang juga!

Kamis, 08 Maret 2012

Belajar tentang Filsafat

“orang yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun,
hidup tanpa memanfaatkan akalnya”
– Goethe

Hidup adalah proses belajar. Manusia belajar dari pengalaman dan pengetahuan yang diwariskan oleh lingkungan di sekitarnya. Walau proses belajar ini dilakukan oleh bermilyar generasi selama ribuan tahun, masih banyak rahasia alam yang belum tersingkap oleh akal manusia. Berbagai pemikiran pun muncul sebagai usaha guna memberikan argumentasi tentang sejumlah permasalahan yang ada.

Seperti layaknya manusia yang pada dasarnya memiliki rasa ingin tahu, filsafat memberikan ruang yang luas untuk memahami fenomena di sekitar kita. Sebuah buku yang mampu menjembatani rasa ingin tahu, menghadirkan nalar berfikir dan mengaitkannya dengan konsep filsafat dengan sangat apik adalah “Dunia Sophie”. Joestin Gaarder, sang penulis buku memberikan perpaduan yang unik untuk mengemas ilmu filsafat dalam sebuah cerita imaginatif yang menarik. Novel terjemahan yang pada 2010 lalu dicetak kembali dengan serial gold oleh PT Mizan Pustaka ini seperti memberi angin segar bagi mereka yang ingin mengenal filsafat dengan bahasa yang lebih mudah dicerna dan tidak kaku seperti buku-buku pengantar filsafat yang banyak di pasaran.

Sophie Amundsen, gadis belia yang menjadi tokoh utama dalam novel ini diceritakan mendapatkan guru filsafat misterius, Alberto Knox, menjelang usianya yang ke-14 tahun. Selama menyelami cerita yang disuguhkan, kita diajak menganalisis tentang bagaimana pemikiran para filosof dari masa ke masa. Tak sekadar memberikan gambaran konsep pemikiran para filosof, penulis turut memberikan contoh implementasi pemikiran dalam memandang sejumlah persoalan di sekitar kita. Tokoh-tokoh filsafat mulai dibahas secara khusus dan terperinci dari bab 18-31. Namun demikian, walau dikemas dengan bahasa naratif layaknya novel misteri, sebagai media pengantar ilmu filsafat, buku ini pun menuntut daya ingat dan penalaran yang kuat untuk benar-benar memahami berbagai pemikiran kefilsafatan dalam 36 bab yang disajikan.

Bukan tak mungkin setelah membaca novel “Dunia Sophie” pembaca masih tidak menemukan apa sesungguhnya yang dimaksud dengan filsafat. Untuk itu, tak lengkap apabila kita hanya sekadar membaca naskah cerita yang disajikan dan melewatkan sajian pengantarnya. Bambang Sugiharto (hlm.14-16) dalam pengantarnya di buku tersebut berpendapat, “Filsafat adalah sistematisasi pengalaman bernalar dan kecenderungan ingin tahu, yang telah kita miliki sejak kanak-kanak. Kecenderungan yang—ironisnya—seringkali justru menjadi rusak akibat jawaban-jawaban yang berpretensi mutlak dari berbagai macam bentuk pengetahuan (tradisi, sains, ideologi, terutama agama). Suatu upaya tanpa akhir untuk memahami kenyataan yang mungkin tak akan tuntas terjelaskan.” Filsafat adalah sebuah ilmu yang dapat digunakan untuk mengkritisi kekolotan ataupun pemikiran-pemikiran yang bersifat dogmatis. Meski demikian, tak ada yang benar dan salah dalam filsafat. Filsafat mengajarkan kepada kita untuk belajar menjadi seorang pemikir yang mampu merepresentasikan pemikiran kita. Filsafat adalah sebuah media bebas untuk mengekspresikan cara pandang dengan tuntutan argumentasi yang dapat dinalar.

Bagi saya, filsafat adalah salah satu wadah yang dapat digunakan untuk belajar menjadi orang bijak. Apapun “bunyi” pemikiran para filosof bukanlah suatu hal yang perlu dipusingkan. Sekali lagi, karena hidup adalah proses belajar yang semuanya menuntun kita menemukan hikmah dan pelajaran. Salah satu pertanyaan yang dapat dikaji adalah, mengapa tingkat terakhir pendidikan keilmuan menggunakan gelar Ph. D. (Philoshophy Doctor)? Istilah Philoshopy yang disandingkan dengan Doctor tentu mempunyai suatu harapan agar sang pemilik gelar tak hanya cerdas dalam tataran intelektual semata. Hal yang jauh lebih penting dari itu semua, yaitu sang ilmuwan diharapkan jauh lebih arif memanfaatkan ilmunya. Seberapa besar dan banyaknya ilmu yang kita miliki, tentu tak berarti apa-apa apabila tak diiringi dengan rasa bijak yang tumbuh di hati kita. ibarat tanaman padi, semakin berisi semakin menunduk. Orang yang cerdas pun akan semakin bermanfaat kecerdasannya, ketika ia pun berubah menjadi orang yang semakin bijak. Bijak untuk memanfaatkan ilmunya, bijak dalam menjalani kehidupannya dan bijak menyelesaikan perosalan dalam lingkungannya. Filsafat mengajari kita untuk berfikir menggunakan akal dan hati. Filsafat mengajari kita belajar memandang dari sudut yang berbeda. Filsafat membebaskan kita berargumen sesuai keyakinan dan pemikiran kita. Filsafat: ilmu kebijaksanaan.

Kamis, 05 Januari 2012

Hidup adalah Proses Belajar

Hari ini sku belsjsr. kemarin aku belajar.. esok pun akan tetap belajar. belajar menghargai kehidupan. belajar untuk selalu berinstrokpeksi diri. belajar untuk berbagi dan tidak membebani. semuanya adalah proses. jalani prossesnya, dan kita akan mendapatkan apa yang kita usahakan. semanagat!