Kamis, 15 Maret 2012

Saat memulai tulisan...




Awalnya, jemariku cukup lambat merangkai jejak kata dari tust-tust keboard ACER aspire 2920Z-ku. Entah sulit menemukan kata yang tepat, atau belum mendapatkan ilham yang terlihat brilian, tapi aku seringkali butuh waktu lama untuk memulai paragraf pertama. Apakah kurang pemanasan? Mungkin saja.

Lalu, apa yang kulakukan? Jawabannya, aku terus menulis. Apapun yang ada di pikiranku saat itu, segera kutuangkan dalam tulisan. Tidak terlalu nyambung secara urutan kalimat. Namun, kubiarkan saja otakku memandu apa yang harus kutiliskan sebagai sebuah ide. Sesekali, tombol backspace mendominasi praktik kerjaku membangun tulisan. Namun, setelah beberapa lama “memaksakan” diri di depan layar laptop 12,1 inch-ku, akhirnya aku pun mulai lancar menuangkan gagasan hingga berlembar-lembar halaman.

Intinya apa kawan? Untuk memulai sebuah tulisan, kita hanya perlu alat tulis, lalu segera menuangkan apa yang ada di pikiran kita. Baik dan buruk hasil tulisan itu urusan belakang, tapi setidaknya kita telah menghasilkan sebuah karya.

Jika kamu hanya membaca buku panduan memasak tanpa terjun langsung ke dapur dan mengolah beberapa bahan, maka jangan heran kalau kamu tak menghasilkan satu jenis makanan pun. Mengapa ada orang yang tak segera berkunjung ke rumah neneknya padahal rasa kangen sudah melanda? Jawabannya, karena dia tak segera berjalan menuju rumah sang nenek. Berbagai alasan pun dilontarkan sehingga semakin memperlama rencana kunjungannya.

Menulis adalah soal praktik. Sebagaimana kita tidak akan bisa menghasilkan makanan jika tak pernah memasak, sebuah karya tulis pun tak akan pernah hadir apabila kita tak segera mulai menulis. Masalah menarik tidaknya tulisan, enak tidaknya sajian yang kita suguhkan, itu masalah bagaimana kita belajar dari pengalaman yang dilakukan sebelumnya.

Kawan, menulis hanya masalah kebiasaan, begitu kata dosenku, Nunung Prajarto dalam bukunya “Tulis Saja! Kapan Lagi: Dasar Aplikasi Komunikasi Tertulis”. Bisa karena biasa. Lalu, jika banyak manfaat yang dapat kita tebar melalui sebuah tulisan, jika banyak inspirasi yang dapat kita bagi melalui sebuah karya tulis, mengapa tidak segera mulai menulis?
Kapan? Sekarang juga!

Kamis, 08 Maret 2012

Belajar tentang Filsafat

“orang yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun,
hidup tanpa memanfaatkan akalnya”
– Goethe

Hidup adalah proses belajar. Manusia belajar dari pengalaman dan pengetahuan yang diwariskan oleh lingkungan di sekitarnya. Walau proses belajar ini dilakukan oleh bermilyar generasi selama ribuan tahun, masih banyak rahasia alam yang belum tersingkap oleh akal manusia. Berbagai pemikiran pun muncul sebagai usaha guna memberikan argumentasi tentang sejumlah permasalahan yang ada.

Seperti layaknya manusia yang pada dasarnya memiliki rasa ingin tahu, filsafat memberikan ruang yang luas untuk memahami fenomena di sekitar kita. Sebuah buku yang mampu menjembatani rasa ingin tahu, menghadirkan nalar berfikir dan mengaitkannya dengan konsep filsafat dengan sangat apik adalah “Dunia Sophie”. Joestin Gaarder, sang penulis buku memberikan perpaduan yang unik untuk mengemas ilmu filsafat dalam sebuah cerita imaginatif yang menarik. Novel terjemahan yang pada 2010 lalu dicetak kembali dengan serial gold oleh PT Mizan Pustaka ini seperti memberi angin segar bagi mereka yang ingin mengenal filsafat dengan bahasa yang lebih mudah dicerna dan tidak kaku seperti buku-buku pengantar filsafat yang banyak di pasaran.

Sophie Amundsen, gadis belia yang menjadi tokoh utama dalam novel ini diceritakan mendapatkan guru filsafat misterius, Alberto Knox, menjelang usianya yang ke-14 tahun. Selama menyelami cerita yang disuguhkan, kita diajak menganalisis tentang bagaimana pemikiran para filosof dari masa ke masa. Tak sekadar memberikan gambaran konsep pemikiran para filosof, penulis turut memberikan contoh implementasi pemikiran dalam memandang sejumlah persoalan di sekitar kita. Tokoh-tokoh filsafat mulai dibahas secara khusus dan terperinci dari bab 18-31. Namun demikian, walau dikemas dengan bahasa naratif layaknya novel misteri, sebagai media pengantar ilmu filsafat, buku ini pun menuntut daya ingat dan penalaran yang kuat untuk benar-benar memahami berbagai pemikiran kefilsafatan dalam 36 bab yang disajikan.

Bukan tak mungkin setelah membaca novel “Dunia Sophie” pembaca masih tidak menemukan apa sesungguhnya yang dimaksud dengan filsafat. Untuk itu, tak lengkap apabila kita hanya sekadar membaca naskah cerita yang disajikan dan melewatkan sajian pengantarnya. Bambang Sugiharto (hlm.14-16) dalam pengantarnya di buku tersebut berpendapat, “Filsafat adalah sistematisasi pengalaman bernalar dan kecenderungan ingin tahu, yang telah kita miliki sejak kanak-kanak. Kecenderungan yang—ironisnya—seringkali justru menjadi rusak akibat jawaban-jawaban yang berpretensi mutlak dari berbagai macam bentuk pengetahuan (tradisi, sains, ideologi, terutama agama). Suatu upaya tanpa akhir untuk memahami kenyataan yang mungkin tak akan tuntas terjelaskan.” Filsafat adalah sebuah ilmu yang dapat digunakan untuk mengkritisi kekolotan ataupun pemikiran-pemikiran yang bersifat dogmatis. Meski demikian, tak ada yang benar dan salah dalam filsafat. Filsafat mengajarkan kepada kita untuk belajar menjadi seorang pemikir yang mampu merepresentasikan pemikiran kita. Filsafat adalah sebuah media bebas untuk mengekspresikan cara pandang dengan tuntutan argumentasi yang dapat dinalar.

Bagi saya, filsafat adalah salah satu wadah yang dapat digunakan untuk belajar menjadi orang bijak. Apapun “bunyi” pemikiran para filosof bukanlah suatu hal yang perlu dipusingkan. Sekali lagi, karena hidup adalah proses belajar yang semuanya menuntun kita menemukan hikmah dan pelajaran. Salah satu pertanyaan yang dapat dikaji adalah, mengapa tingkat terakhir pendidikan keilmuan menggunakan gelar Ph. D. (Philoshophy Doctor)? Istilah Philoshopy yang disandingkan dengan Doctor tentu mempunyai suatu harapan agar sang pemilik gelar tak hanya cerdas dalam tataran intelektual semata. Hal yang jauh lebih penting dari itu semua, yaitu sang ilmuwan diharapkan jauh lebih arif memanfaatkan ilmunya. Seberapa besar dan banyaknya ilmu yang kita miliki, tentu tak berarti apa-apa apabila tak diiringi dengan rasa bijak yang tumbuh di hati kita. ibarat tanaman padi, semakin berisi semakin menunduk. Orang yang cerdas pun akan semakin bermanfaat kecerdasannya, ketika ia pun berubah menjadi orang yang semakin bijak. Bijak untuk memanfaatkan ilmunya, bijak dalam menjalani kehidupannya dan bijak menyelesaikan perosalan dalam lingkungannya. Filsafat mengajari kita untuk berfikir menggunakan akal dan hati. Filsafat mengajari kita belajar memandang dari sudut yang berbeda. Filsafat membebaskan kita berargumen sesuai keyakinan dan pemikiran kita. Filsafat: ilmu kebijaksanaan.