Kamis, 06 September 2012

Sebelum Gelap Menyergap

Jam tanganku menunjukkan pukul 03.15 Waktu Indonesia Bagian Timur ketika kutuliskan rangkaian huruf di layar laptop 12,1 inchi itu. Tak seperti biasanya, aliran listrik di rumah Mama Witi dan Papa Irwan ini belum padam. Hari-hari sebelumnya, ketika jarum jam menunjukkan pukul 22.00 ruangan sudah berselimut gulita. Mulai kemarin malam, lampu padam cukup larut. Saat itu pula kuluangkan untuk sekadar berbagi asa barang satu dua kalimat ke dalam file Microsoft word. Tepat saat pergantian hari pukul 24.00, tak kuasa kulanjutkan goresan cerita di kotak ajaib bermuatan ribuan software milikku. Mendadak baterai laptopku kritis lantaran arus listrik terputus.


Ya, kami hanya bisa menikmati listrik ketika maghrib mulai menjelang. Maklum saja, Desa Bajo yang berada di sebuah pulau bernama Botang Lomang ini belum teraliri jaringan listrik dari PLN. Ironis memang. Di tengah jutaan orang di Pulau Jawa sana dengan leluasanya menghambur-hamburkan uang demi menikmati listrik ribuan kilowatt per hari, di waktu yang sama masyarakat di Halmahera Selatan ini harus rela iuran uang minyak agar rumahnya tak dimakan gelap setiap malamnya.


Sudah beberapa hari kami tinggal di rumah keluarga piara. Selama lima minggu ke depan, aku dan teman-teman mahasiswa UGM akan mengadakan program Kuliah Kerja Nyata atau yang akrab disebut KKN. Kurang lebih seminggu perjalanan dari Jogja naik Hercules, kami baru dapat menginjakkan kaki di pulau ini. Bagaimana tidak, pesawat TNI AU yang kami tumpangi itu tidak langsung menuju Halmahera.


Dari bandara Halim Perdana Kusuma kami terbang ke Malang. Setelah transit sekitar 15 menit, Hercules melesat menuju Makasar. Berdiri selama kurang lebih dua jam di Hercules dalam kondisi mengantuk membuat badanku pegal-pegal. Namun perjalanan masih panjang. Sejumlah penumpang turun di Makasar. Beberapa menit berselang setelah kami usai menjama’ sholat dzuhur dan ashar, pesawat harus kembali mengudara menuju Gorontalo.


Di gorontalo, kusempatkan untuk sekadar membasuh wajah barang sebentar. Tak lama kemudian raungan Hercules pun semakin menjadi mengantarkan kami menuju Manado. Hari sudah gelap ketika roda pesawat menyentuh bandara Manado. Bulan bersinar dengan terangnya layaknya bolam lampu raksasa yang menghiasi langit malam.


Setelah berbincang kepada para perwira TNI, atas kebaikan mereka aku dan teman-teman perempuanku ditempatkan di mes anggota dengan ruangan tersendiri. Berbeda dengan teman-temanku yang laki-laki, mereka tidur bersama puluhan penumpang Hercules lain yang turut menginap sebelum besok pagi berangkat ke Morotai. Ada syukur yang membuncah. Inilah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Manado.


Usai bersih diri dan sholat, kami sempatkan untuk mencari makan malam di luar. Setelah berjalan kurang lebih 15 menit ke arah jalan raya, kami menemukan sebuah rumah makan yang menyediakan nasi goreng, sayur juga sate. Di sela-sela makan, kami baru sadar ternyata rumah makan itu milik orang Jawa Timur. Ditulis dengan jelas di papan menu yang ditempel di dinding setelah pintu masuk, “Warung Makan Jawa Timur”. Aku dan temanku tertawa geli. Jauh-jauh ke Manado, makannya nasi goreng Jawa Timur juga. Memang sudah rejekinya yang empunya rumah makan pikirku.


Selesai makan, kami jalan-jalan ke Bandara Internasional Sam Ratulangi, Manado. Beberapa teman yang persediaan uang tunainya menipis mengambil ke ATM bandara. Beberapa jepretan foto tak lupa kami abadikan untuk kenang-kenangan.
Malam semakin larut, kaki sudah pegal berjalan. Belum lagi ditambah kepenatan perjalanan seharian di Hercules yang lebih mirip mikrolet angutan kota daripada disebut pesawat. Namanya juga gratisan, semua harus disyukuri pikir kami. Bagaimanapun pengalaman naik Hercules tak bisa tergantikan. Dengan langkah gontai kami akhirnya memutuskan untuk istirahat. Beberapa teman laki-laki entah asyik mengembara ke mana. Ada sedikit rasa iri sebenarnya, karena mereka bisa jalan-jalan keliling Manado. Tapi apa daya, kekecewaan ditinggal pergi duluan membuat kami akhirnya memutuskan untuk menikmati bermalam di mes TNI. Seiring mata terpejam, kami berharap perjalanan esok akan lancar dan menyenangkan. Perjalanan panjang akan menanti ketika esok subuh menjelang.


***


Suara diesel masih terdengar mederu beberapa ratus meter dari pondok Mama Witi. Di rumah Mama Jo, tetangga sebelah, tempat teman laki-laki satu kelompok sub unitku bermalam sudah tak ada tanda-tanda kehidupan. Sejak pukul 23.00 tadi terangnya bolam telah berganti dengan temaram lampu minyak yang digantung di ruang tengah.


Gelap memang terkadang menyakitkan. Sejenak aku berfikir, betapa sengsaranya bila tak ada cahaya yang menembus pupil mataku dan semuanya menjadi hitam. Meski demikian, aku percaya ada hikmah di balik gelap. Dengan gelap, kita belajar untuk menghargai masa terang. Dengan gelap, kita belajar untuk melihat ke dalam diri kita dan mencari berkas-berkas terang yang mungkin terselip dalam hati yang berselimut kelam. Ya, gelap dan terang adalah irama, di mana masing-masing saling mengisi untuk menciptakan harmonisasi kehidupan.


Tiittt.. Tiittt. Tiba-tiba lampu padam seketika. Laptopku sekarat sudah. Ceritaku terputus di sini. Wassalam.



12 Juli 2012, 03.53 WIT
Diedit ulang 7 September 2012, 11.50 WIB