Minggu, 16 Desember 2012

Penjara [Tidak] Membuat Jera

Lembaga Pemasyarakatan atau yang lebih akrab dikenal dengan istilah penjara kini seolah mengalami pergeseran fungsi. Di tengah kasus kriminalitas dan hukum yang membanjir di negeri ini, penjara yang semestinya difungsikan untuk memberikan efek jera bagi narapidana (napi) justru berubah menjadi markas besar tindak kejahatan. Seperti dilansir Harian Jogja Edisi Selasa 4 Desember 2012 lalu, berbagai penyimpangan di penjara hingga saat ini masih menjadi momok bagi upaya penegakan keadilan di Indonesia.

Sejumlah kasus seperti prostitusi, judi, bahkan peredaran narkoba yang bisa terjadi dengan bebas di penjara perlu mendapat catatan tersendiri. Minimnya peralatan penunjang kerja, kurangnya pengawasan, hingga oknum sipir “nakal” selama ini selalu dijadikan “alibi” sejumlah pelanggaran tersebut. Padahal selain faktor-faktor tadi, kita perlu mengantisipasi adanya dugaan kejahatan yang sistematis. Tindak penyimpangan di penjara yang terus berulang setiap tahunnya dan seolah tak pernah putus ini patut dicuragai sebagai kejahatan yang disengaja dan “dilestarikan” oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Kerjasama sejumlah oknum ini terjadi tidak lain karena mereka merasa diuntungkan dengan pelanggaran yang terjadi, sehingga lupa akan akibat jangka panjang yang ditimbulkan.

Atas nama uang, penegakan hukum kembali tergadaikan. Sebuah pepatah “ada harga ada mutu” seolah turut berlaku di tempat yang sepatutnya memberikan pendidikan moral tersebut. Kini penjara tak ubahnya seperti persewaan apartemen di mana penghuni bisa memilih “tempat tinggal” beserta fasilitasnya sesuai dengan anggaran kantong masing-masing. Ruangan dengan jeruji besi yang selama ini melekat dalam istilah penjara dapat disulap bak kamar hotel berfasilitas mewah. Slogan yang kemudian berlaku hampir di semua lini adalah “semua bisa diatur dengan uang”.

Kasus pelaku suap jaksa, Artalita Suryani yang tinggal dalam penjara mewah adalah salah satu sisi gunung es cacat hukum yang tampak di permukaan. Padahal Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan dengan tegas menjelaskan adanya larangan memberikan perbedaan antara napi yang satu dengan yang lain. Selain itu, dalam Pasal 2 Undang-Undang Lembaga Pemasyarakatan turut menyebutkan bahwa sistem pemasyarakatan yang dicanangkan dalam lembaga tersebut diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat. Ironisnya, seorang napi yang keluar dari penjara justru seringkali mewujud sebagai pelaku kejahatan yang lebih “handal dan profesional” daripada berubah menjadi warga negara yang patuh hukum.

Pada dasarnya, setiap tindakan yang berlaku di Lembaga Pemasyarakatan sudah sepatutnya diarahkan demi pembelajaran dan penyiapan mental warga negara yang berkarakter. Permasalahan ini terlihat pelik memang, tetapi bagaimanapun tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Hanya saja, prinsip ini akan benar-benar berfungsi ketika semua pihak berkomitmen untuk melakukan reformasi hukum yang menyeluruh. Di samping itu, pendidikan yang baik dalam berbagai level turut memegang peranan penting dalam menciptakan warga negara yang mencintai bangsanya, baik dalam bentuk ideologi maupun dalam bersikap.



Diterbitkan oleh Harian Jogja Edisi 11 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar