Senin, 17 Desember 2012

Ketika harus merubah arah

Pagi itu Wati bersiap-siap pergi ke sekolah. Dengan pakaian seragam lengkap dan tas ransel di punggung, Wati pun pergi meninggalkan rumah. Sepuluh menit berlalu, motor Wati kini telah melenggang di jalanan aspal yang mulus. Jalanan yang sepi membuatnya berkendara dengan santai, sembari menikmati perjalanan menuju sekolah.

Hingga tiba-tiba, di pertigaan sekitar satu kilometer dari sekolah Wati, sebuah plang pemberitahuan bersandarkan drum tegak berdiri di tengah jalan. “Maaf jalur ditutup. Ada pekerjaan jalan.” Tumpukan batu-batu kali menutup hampir seluruh badan jalan. Lintasan yang tadinya mulus beraspal kini nampak cekung tak beraturan bekas dikeruk. Sebuah buldoser teronggok di salah satu sisi jalan. Tidak ada pilihan, setiap pengendara yang melintas harus mengambil jalan lain.


---

Sekarang jika tokoh yang berkendara di jalanan tersebut adalah kita, apa yang akan Sobat lakukan? Apa yang kita lakukan ketika dalam sebuah perjalanan ada hambatan yang tak mungkin dilalui dengan menerjangnya begitu saja? Mungkin sebagian besar dari kita akan menjawab putar arah dan mengambil jalan lain. Tentu saja, tidak mungkin kan kita memutuskan untuk pulang dan tidak jadi pergi ke sekolah karena jalanan sedang diperbaiki? Sebagai manusia yang berakal, kita akan mencari jalur lain yang bisa dilalui untuk sampai ke tempat tujuan. Meski tidak jarang jalan yang kita lalui harus ditempuh lebih lama dengan rute yang lebih panjang.

Ibarat orang yang dalam perjalanan, seperti itulah hidup kita sobat. Kita selalu berusaha berjalan kearah mana tujuan yang hendak di capai. Seandainya di tengah perjalanan ada halangan yang menghambat perjalanan, mau tidak mau kita harus bergerak agar usaha mencapai tempat tujuan dapat terlaksana dengan segera. Entah itu mencari alternatif jalan yang lebih aman, menunggu kemacetan, atau sekadar bertanya kepada orang lain ketika kita merasa tak tahu arah yang harus dituju. Ada banyak pilihan yang dapat kita lakukan, termasuk kembali ke rumah dengan tangan hampa pun adalah sebuah pilihan.

Hidup penuh dnegan cabang-cabang jalan. Kita bebas memilih jalan mana yang akan ditempuh. Dan masing-masing jalan memiliki tujuan dan konsekuensi masing-masing. Tiap-tiap jalan memiliki pemandangan yang berbeda, suasana yang berbeda, serta tantangan yang berbeda pula. Namun jika kita memiliki keinginan kuat untuk mencapai satu tujuan, tentu raga akan dikuatkan dengan segala tantangan, hati akan diteguhkan dengan berbagai cobaan sehingga senantiasa menikmati proses yang dilalui.

Jika ternyata suatu ketika kita harus melangkah berputar arah dan harus mengambil jalan lain, itu semua di jalani demi tujuan yang lebih mulia. Kita tidak perlu berpusing ria karena sudah mempunyai gambaran yang jelas ke mana harus melangkah. Mengapa begitu? Karena kita telah menetapkan satu tujuan yang kuat. Perubahan-perubahan yang kita lakukan pun akan mengarah pada tujuan yang kita yakini sebagai kebenaran. Ada arah yang jelas ke mana kaki harus melangkah, ke mana pikiran akan difokuskan, dan ke mana hati harus diikuti

Lalu pertanyaannya, apa tujuan hidup kita? Sudahkah kita melakukan usaha maksimal untuk mencapai tujuan hidup tersebut? Sudahkah perubahan-perubahan terarah kita lakukan untuk mengapai semua mimpi dan harapan? Apapun jawabannya, semoga kita semua senantiasa diberi semangat untuk selalu memperbaiki diri dan merubah hidup dengan tujuan yang lebih terarah. Untuk apa lagi? Tak lain guna meraih ridho-Nya. Aamiin.

Minggu, 16 Desember 2012

Penjara [Tidak] Membuat Jera

Lembaga Pemasyarakatan atau yang lebih akrab dikenal dengan istilah penjara kini seolah mengalami pergeseran fungsi. Di tengah kasus kriminalitas dan hukum yang membanjir di negeri ini, penjara yang semestinya difungsikan untuk memberikan efek jera bagi narapidana (napi) justru berubah menjadi markas besar tindak kejahatan. Seperti dilansir Harian Jogja Edisi Selasa 4 Desember 2012 lalu, berbagai penyimpangan di penjara hingga saat ini masih menjadi momok bagi upaya penegakan keadilan di Indonesia.

Sejumlah kasus seperti prostitusi, judi, bahkan peredaran narkoba yang bisa terjadi dengan bebas di penjara perlu mendapat catatan tersendiri. Minimnya peralatan penunjang kerja, kurangnya pengawasan, hingga oknum sipir “nakal” selama ini selalu dijadikan “alibi” sejumlah pelanggaran tersebut. Padahal selain faktor-faktor tadi, kita perlu mengantisipasi adanya dugaan kejahatan yang sistematis. Tindak penyimpangan di penjara yang terus berulang setiap tahunnya dan seolah tak pernah putus ini patut dicuragai sebagai kejahatan yang disengaja dan “dilestarikan” oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Kerjasama sejumlah oknum ini terjadi tidak lain karena mereka merasa diuntungkan dengan pelanggaran yang terjadi, sehingga lupa akan akibat jangka panjang yang ditimbulkan.

Atas nama uang, penegakan hukum kembali tergadaikan. Sebuah pepatah “ada harga ada mutu” seolah turut berlaku di tempat yang sepatutnya memberikan pendidikan moral tersebut. Kini penjara tak ubahnya seperti persewaan apartemen di mana penghuni bisa memilih “tempat tinggal” beserta fasilitasnya sesuai dengan anggaran kantong masing-masing. Ruangan dengan jeruji besi yang selama ini melekat dalam istilah penjara dapat disulap bak kamar hotel berfasilitas mewah. Slogan yang kemudian berlaku hampir di semua lini adalah “semua bisa diatur dengan uang”.

Kasus pelaku suap jaksa, Artalita Suryani yang tinggal dalam penjara mewah adalah salah satu sisi gunung es cacat hukum yang tampak di permukaan. Padahal Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan dengan tegas menjelaskan adanya larangan memberikan perbedaan antara napi yang satu dengan yang lain. Selain itu, dalam Pasal 2 Undang-Undang Lembaga Pemasyarakatan turut menyebutkan bahwa sistem pemasyarakatan yang dicanangkan dalam lembaga tersebut diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat. Ironisnya, seorang napi yang keluar dari penjara justru seringkali mewujud sebagai pelaku kejahatan yang lebih “handal dan profesional” daripada berubah menjadi warga negara yang patuh hukum.

Pada dasarnya, setiap tindakan yang berlaku di Lembaga Pemasyarakatan sudah sepatutnya diarahkan demi pembelajaran dan penyiapan mental warga negara yang berkarakter. Permasalahan ini terlihat pelik memang, tetapi bagaimanapun tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Hanya saja, prinsip ini akan benar-benar berfungsi ketika semua pihak berkomitmen untuk melakukan reformasi hukum yang menyeluruh. Di samping itu, pendidikan yang baik dalam berbagai level turut memegang peranan penting dalam menciptakan warga negara yang mencintai bangsanya, baik dalam bentuk ideologi maupun dalam bersikap.



Diterbitkan oleh Harian Jogja Edisi 11 Desember 2012