Rabu, 20 Oktober 2010

Wajah Jurnalisme Indonesia

Orde Baru menjadi masa suram bagi kebebasan pers di Indonesia. Kemudian reformasi dianggap sebagai dewa penyelamat atas keterpurukan dunia jurnalisme sekaligus menjadi batu loncatan menuju arus informasi tanpa batas. Namun, era reformasi yang datangnya tiba-tiba tersebut sepertinya hanya dimanfaatkan sebagai pelampiasan keterkungkungan semata. Inssan media belum menyiapkan secara kultural maupun fajar baru kebebasan informasi.

Tak hanya dari lingkungan eksternal yang menjadi tantangan jurnalisme saat ini. Usaha mempertahankan idealisme fungsi pers dan memperbaiki kinerja pegiat jurnalistik menjadi menjadi PR bersama yang lebih serius. Dengan demikian perwujudan jurnalisme kita benar-benar mampu melayani kepentingan publik sekaligus sebagai anjing penjaga terhadap potensi penyalahgunaan wewenang dan kuasa oleh pemerintah.

Jurnalisme mulut yang mendominasi

Kebiasaan lama wartawan yang mengandalkan peliputan opinion news atau talking news sampai saat ini belum bisa ditinggalkan. Kejadian seperti ini akan mengarah pada juranlisme yang subjektif dan relatif. Situasi kesenjangan antara wacana yang diproduksi dan realitas empirik faktual (hiper-rality) yang terjadi akan rawan terjadi. Pada akhirnya fakta yang berkembang dari bawah kurang tertransformasikan dalam muatan media. Dengan demikian media dianggap belum siap memerankan agenda setting untuk merumuskan hal-hal yang dianggap penting oleh masyarakat sehingga bisa dijadikan masukan dalam formulasi kebijakan.

Wartawan kita cenderung malas untuk menggali informasi sedalam-dalamnya. Terlebih dengan hadirnya kecanggihan teknologi yang semakin mempermudah informasi. Proses pencarian berita yang membutuhkan wawancara pun terkadang hanya dilakukan via telepon atau media lainnya. Kesungguhan wartawan Indonesia untuk memberikan data yang akurat dan berimbang kepada publik masih dipengaruhi oleh nominal finansial yang diberikan daripada atas nama sebuah dedikasi.

Pada kasus perseteruan Indonesia dengan Malaysia belum lama ini sebagai contohnya. Sebagian besar jenis jurnalisme berdasarkan teknik pengumpulan data yang dilakukan wartawan hanya sebatas menyuguhkan testimoni dari para tokoh semata. Apabila kita melihat isi berita tentang kondisi Malaysia dan Indonesia di televisi, maka pilihan berita yang ditawarkan lebih banyak dengan konsep debat publik. Dari perdebatan itu pun tidak dihadirkan secara gamblang tentang solusi yang ditawarkan. Semuanya sebatas pada wacana publik tanpa disertai usaha untuk mengurai permasalahan yang ada.


Jurnalism of attachment yang tak pada tempatnya
Jurnalism of attachment merupakan suatu konsep jurnalisme yang di dalamnya melibatkan unsur emosi manusia. Hingga saat ini terdapat banyak kritik akan konsep penayangan berita yang dianggap tidak beretika. Alih-alih bertujuan untuk memberikan gambaran realita yang ada, justru menimbulkan efek negatif bagi sisi psikologi masyarakat.

Pada peristiwa pengevakuasi korban kecelakaan kereta api, seorang kameramen menangkap gambar seorang mayat yang dijatuhkan dari atas kereta karena dimungkinkan pengevakuasi telah merasa lelah. Sebagai media yang beradap, seharusnya gambar tersebut tidak ditayangkan. Justru bukan rasa simpati yang ditimbulkan, namun hardikan atas sikap tak bermoral tersebut.

Kebebasan informasi oleh media saat ini justru mengarahkan perhatian pada peliputan ”perbedaan” dan ”konflik” justru mengalami perbesaran dalam banyak aspek (blow up). Contoh lain pada kasus terorisme yang banyak menyita perhatian masyarakat. Di satu sisi masyarakat anti terhadap terorisme, namun di sisi lain justru terdapat prasangka negatif terhadap kaum muslim yang secara tidak langsung selalu dikaitkan degan aksi pengeboman yang ada.

Media di Indoensia menurut saya saat ini banyak berjenis journalism of attachment. Pada satu sisi, jenis jurnalismne ini membawa dampak positif, namun di sisi yang lain dapat menumbuhkan prasangka atau efek negatif terhadap psikologis seseorang. Meskipun menimbulkan efek jera pada suatu peristiwa merupakan tujuan dari jenis journalism of attachment, namun terkadang efek yang ditimbulkan tidak sesuai atau justru berkebalikan dengan tujuan awal pemberitaannya.



Daftar Pustaka:
Panuju, Redi. 2002. Relasi Kuasa Negara Media Massa dan Publik (Pertarungan Memenangkan Opini Publik dan Peran dalam Transformasi Sosial). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar