Kamis, 21 Oktober 2010

Sebuah Gambaran Pertarungan Arogansi Penguasa

Pertama kali melihatnya, mungkin film ”Battleship Potemkin” ini sulit dipahami. Dalam rangkaian cerita yang disuguhkan, Sergei Enstein menyisipkan pesan revolusi yang rumit. Film ini dapat disebut sebagai bentuk perayaan Revolusi Rusia yang gagal pertama kali. Dari titik inilah satu dekade kemudian mosi ketidakpercayaan rakyat terhadap Tsarisme mencapai titik kulminasinya hingga meletuslah Revolusi Oktober 1917.

Film bisu hitam-putih yang dirilis tahun 1925 ini mereka ulang pemberontakan para pelaut di kapal perang Potemkin pada musim panas 1905 sebagai salah satu babak penting Revolusi Rusia. Karena revolusi ini mampu memecahkan konsentrasi Dinasti Romanov yang tengah menghadapi Jepang untuk merebut dominasi ekonomi di Manchuria dan Semenanjung Korea. Dengan durasi 72 menit, pemberontakan Potemkin dibagi dalam lima episode pendek: The Men and The Maggots (Manusia dan Belatung), Drama at the Harbour (Peristiwa di Pelabuhan), A Dead Man Calls for Justice (Orang Mati yang Meminta Keadilan), The Odessa Staircases (Tangga Odessa) dan The Meeting with Squadron (Pertemuan dengan Skuadron).

Scene pertama diawali dengan cerita tentang pemberontakan pelaut Potemkin yang dipimpin oleh Frigory Vakulenchuk atas ketidakadilan yang diterima kaum pekerja. Tepat pada 27 Juni, perang pecah ketika marinir menolak perintah Evgeny Golikov, sang kapten kapal untuk mengeksekusi mati para pelaut ’pembangkang’ yang tidak mau memakan sup yang ternyata berasal dari daging busuk yang penuh belatung. Di atas kapal berkekuatan 12.500 ton itu akhirnya Vakulenchuk harus meregangkan nyawanya.

Sergein Einstein sangat lihai mengolah emosi penontonnya dalam potongan-potongan shot yang ditampilkan. Setelah dibuat sedikit jijik dengan ekspose kawanan belatung yang berjejalan dalam tubuh daging busuk, pada scene kedua kekecewaan penonton dipancing dengan tertembaknya Vakulenchuk saat peperangan sedang memuncak. Selanjutnya perasaan geli bercampur ironi mengusik pikiran saya ketika mayat Vakulenchuk dibaringkan di dermaga pelabuhan Odessa, Ukraina. Di atas tubuh Vakulenchuk mereka menuliskan kalimat: ‘dibunuh karena sepiring sup’. Kemudian penonton diajak untuk sedikit merasa lega ketika rakyat Rusia berbondong-bondong memberikan bantuan bahan makanan untuk pelayaran kapal Potemkin selanjutnya.

Sedangkan bagian paling kolosal dan tragis dimulai ketika pasukan Cossack, unit militer yang dibentuk istana untuk melindungi Dinasti Romanov memporak-porandakan rakyat yang menyerukan mogok massal atas kebengisan penguasa hingga menewaskan Vakulenchuk. Seketika itu juga hujan peluru membuat Tangga Odessa berubah menjadi ladang pembantaian.

Dari segi pengambilan gambar, film ini menyajikan sudut-sudut gambar yang revolusioner pada zaman itu. Tidak seperti sineteron Indonesia yang membatasi ruang gerak aktornya, film ini berusaha melihat peristiwa dari berbagai sisi. Adegan pertarungan di kapal Potemkin ketika para pelaut naik di atas tiang kapal, jatuhnya Vakulenchuk ke laut atau adegan orang-orang yang berjalan di atas jembatan yang disorot dari udara memberikan nuansa tayangan yang menakjubkan untuk menggambarkan konsep drama secara nyata. Film ini dapat pula disebut sebagai peletak dasar dalam bahasa gambar.

Ending cerita ini mengisahkan penolakan empat kapal perang Rusia yang saat itu berpatroli di Laut Hitam untuk menghancurkan kapal Potemkin. Sedangkan pusat komando tertinggi militer Rusia mengeluarkan perintah memaksa pelaut Potemkin menyerahkan diri, atau kapal terancam ditenggelamkan. Lagi-lagi sebuah kebimbangan ditawarkan.

Film terbaik kedua sepanjang masa ini dapat dijadikan alternatif bagi kita untuk kembali menengok sejarah revolusi Rusia yang mendunia. Setidaknya film ini memberikan jembatan dalam membangun gambaran tentang rumitnya pergolakan meraih keadilan dan wajah eksploitasi tenaga rakyat untuk memenuhi ambisi-ambisi Dinasti Romanov di Moskow. Audiens yang dapat diraih dalam film ini sangatlah luas, terlebih isu peperangan dan arogansi penguasa yang menerlantarkan rakyat menjadi perhatian khusus pada masa itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar