Rabu, 20 Oktober 2010

Manifestasi Pertarungan Ideologi dalam "Ladri Di Biciclette"

Perang selalu menyisakan kepedihan. Kejayaan ideologi kelompok yang berkuasa menginduksi dalam hampir setiap lini kehidupan. Bahkan genre dunia perfilman pun dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut pihak pemenang perang.
”Ladri di Biciclette” atau lebih dikenal dengan judul ”The Bicycle Thieves” merupakan sebuah film yang muncul sebagai gerakan tentang neorealisme. Jika Amerika datang dengan sifat hiburannya yang banyak bercerita tentang masyarakat modern dan menonjolkan pernak-pernik kehidupan yang serba ’wah’, maka sebagai tandingannya film neorealisme ini muncul dengan mengangkat permasalahan di kalangan orang-orang miskin dan menegah sebagai karakteristiknya.

Disutradarai oleh Vittorio De Sica, film ini berusaha memberikan sebuah cerita yang alami dan dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Kekuatan lain yang terkandung dalam film Italia ini adalah upaya mengusung kejujuran akan dinamika sebuah kehidupan. Inilah yang menjadi pembeda! Film ini tidak neko-neko atau sok pragmatis seperti yang sering kita jumpai pada kebanyakan perfilman Indonesia sendiri. Hal yang saya sukai adalah film ini berusaha tampil apa apadanya dalam menceritakan realita sosial yang terjadi. Tak ada dramatisasi yang menurut saya cenderung mengarah pada pemuasan kesenangan sementara dibanding memberikan refleksi akan pesan yang ingin disampaikan melaui alur cerita yang disuguhkan.

Film yang dirilis pada 1948 ini bercerita tentang kisah pencarian sepeda kumbang milik seorang pekerja miskin penempel poster bernama Antonio Ricci (Lamberto Maggiorani). Sepeda Ricci dicuri seorang pemuda bertopi jerman di hari pertamanya bekerja. Padahal untuk mendapatkan sepeda itu, Maria Ricci (Lianella Carell), istrinya telah merelakan kasur tempat mereka tidur untuk dijual. Bayangan kembali menjadi pengangguran di tengah krisis ekonomi Italia pasca Perang Dunia II senantiasa menghantui pikiran Ricci. Tanpa sepedanya, Ricci tak dapat menafkahi istri dan kedua anaknya. Dari sepedanya, Ricci menggantungkan sejumput asa untuk memperbaiki ekonomi keluarga.

Bersusah payah Ricci berusaha menemukan sepedanya kembali. Ricci melaporkan perkara pencurian sepedanya kepada polisi. Namun pengaduan sepele Ricci nampaknya tak terlalu digubris para penegak hukum tersebut. Hal ini mengingatkan saya pada sistem pengabdian polisi di Indonesia. Tak jauh berbeda, sepertinya keseriusan dalam proses penyidikan hanya untuk menangani masalah-masalah besar dan fenomenal semata. Bahkan status sosial turut menjadi variabel penting dalam usaha justifikasi perkara.

Kali ini dengan dibantu teman-temannya Ricci melakukan pencarian di tempat-tempat penjualan sepeda di sepanjang jalanan Roma. Namun jerih payah itu masih tak membuahkan hasil. Akhirnya bersama anak pertamanya, Bruno (Enzo Staiola), Ricci melanjutkan pencariannya. Dari sini mulai terlihat sisi keegoisan Ricci yang hanya terfokus pada sepedanya semata. Bruno sering tercampakkan oleh ambisi ayahnya itu. Meskipun sebelumnya sempat kecewa dengan sikap Ricci, Bruno berusaha memahami keadaan yang menimpa ayahnya itu. Penjiwaan Enzo Staiola mampu memberikan karakter tersendiri pada sosok pria kecil energik dan polos bernama Bruno itu. Tingkah polahnya membuat cerita yang disajikan semakin hidup dan sangat disayangkan apabila tak menyimaknya.

Di bagian lain cerita ini, Ricci dipertemukan dengan pemuda yang mencuri sepedanya. Dengan semangat menggebu Ricci mengejar pria tersebut dan terus menuntut agar sepedanya dikembalikan. Namun si pemuda mengelak telah mengambil sepeda Ricci. Parahnya, perlakuan Ricci ini telah membuat epilepsi si pemuda kumat. Kontan peristiwa ini menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Keributan pun terjadi. Hingga akhirnya polisi datang untuk menyelesaikan pertikaian tersebut. Namun, karena tidak mempunyai bukti dan saksi yang kuat atas tuduhan yang diberikan, Ricci pun akhirnya disuruh meninggalkan tempat tersebut sebelum warga naik pitam.

Cerita ini berakhir dengan tergodanya hati Ricci untuk bertolak peran menjadi seorang pencuri sepeda. Setelah sempat dilanda kegundahan, akhirnya Ricci nekat mencuri sebuah sepeda yang tersandar di dekat pintu masuk sebuah gedung besar di tepi jalanan yang lengang. Namun aksi pencurian amatir itu berakhir dengan kepahitan. Bruno menyaksikan ayahnya tak berdaya dikeroyok massa yang marah atas perbuatan Ricci. Ia menangisi semua yang terjadi pada ayahnya. Dengan mata sembab ia memandangi wajah ayahnya tersebut. Beruntung sang pemilik sepeda membebaskan Ricci. Dengan gontai dan suasana hati yang bercampur aduk mereka berjalan di tengah keramaian jalan raya. Walau membisu, pikiran mereka terus mengembara, mencoba mengais makna yang sempat terlupa.

Ending cerita ini mengajak kita untuk merenungkan kembali bagaimana kisah ini dibangun dalam rangkaian pengalaman yang dialami sang aktor. Bagaimanapun juga unsur manusiawi itu akan tetap ada dan tak dapat dimanipulasi dengan sosok superhero manapun. Karena ini semua bercerita tentang manusia dan sederet permasalahan yang mengiringinya. Bukan tentang Tuhan ataupun Dewa.

Dunia toh tidak buta. Film sederhana ”The Bicycle Thieves" ini berhasil menyabet piala Oscar untuk kategori Best Foreign Language Film tahun 1949. AFI (American Film Institute) mengatagorikan film ini dalam daftar 100 film berbahasa asing (non-Inggris) terbaik sepanjang masa. Bahkan para sutradara kelas internasional seperti Ken Loach, Joel Schumacher dan Stanley Kubrick menganggap bahwa inilah film terbaik yang pernah ada.


Sumber inspirasi:
http://klubkajianfilmikj.wordpress.com/2009/04/30/neorealisme-menurut-andre-bazin/
http://resensi-resensi-film.blogspot.com/2010/06/ladri-di-biciclette.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar