Tidak ada kata terlambat untuk memulai sebuah
kebaikan. Penggalan kalimat ini bukanlah sebuah pepatah klise yang sekilas
menakjubkan, tapi kemudian menguap tanpa makna setelahnya. Bagi sekumpulan
ibu-ibu pengajian di kaki bukit Pajangan, pepatah ini benar-benar mereka
resapi. Bersama-sama mereka saling menebar benih mimpi dan bahu-membahu
menguatkan pijakan kaki untuk melangkah menuju perbaikan diri.
Kamis, 23 Januari 2014. Sekitar kurang lebih 15
menit menjelang pukul 14.00 WIB, aku bersama ibuku pergi ke SPS Harapan Bunda
di daerah Pajangan. Kami berniat belajar membaca Al-Quran bersama. Agak gerimis
memang. Tapi aku dan ibuku membulatkan tekad untuk tetap berangkat. Setelah
memakai jubah jas hujan, kuhidupkan mesin motor bututku. Bersama ibu yang
membonceng di belakang, kami pun meluncur menerobos rinai hujan.
Jam 14.00 kurang beberapa menit kami sampai di
lokasi.
Tapi, sebentar. Tidak ada satu motor yang
terparkir di halaman. Kemudian, kulirik teras depan yang biasa digunakan untuk
pertemuan. Kosong. Tidak ada satu tikar pun yang tergelar. Sepi bergelayut.
Kemudian kuhampiri seorang nenek pemilik rumah
yang sekaligus salah satu peserta kajian pekanan itu.
"Ngapunten, menika sios pengaosan boten
nggih?"[1]
tanyaku.
“Mesthine
nggihsios. Tapi niki dereng wonten sing menyang, dadine le nggelari klasa nggih
mangke mawon nek pun pada menyang.”[2]
“Oo..
Nggih..,”[3]
jawabku.
Aku dan ibuku pun menunggu di serambi depan. Bersama
sang nenek dan seorang ibu paruh baya lain yang bekerja kepada sang nenek, kami
saling bertukar cerita untuk menghidupkan suasana.
Selang beberapa menit dari percakapan awal kami,
tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya. Rutukan air hujan yang jatuh ke atap
rumah layaknya serbuan peluru air yang ditumpahkan dari langit. Bagai batu-batu
cair yang dilemparkan oleh seribu pasukan pembawa ketapel untuk mengepung area
rumah. Begitu derasnya, hingga kami harus mengeraskan suara jika hendak
berbicara. Tentu saja, agar tidak kalah dengan sorak air hujan yang menerpa.
Hujan kian membanjir ke bumi. Selokan di depan
sebuah Sekolah Menengah Pertama yang berada persis di depan lokasi pengajian
tak mampu menambung seluruh air yang tertumpah. Sebagian airnya luber ke jalan
raya dan membentuk genangan lebar di permukaan jalan yang lebih rendah. Hujan
lebat yang tak juga reda membuat sebagian orang malas bepergian ke luar rumah.
Tidak sedikit bahkan yang memilih mengurung diri dalam kamar mereka yang
hangat.
Huufhhhh... ku tarik nafas sesaat. Segera aku
ingat pesan singkat dari Umi Nunung, pemateri sekaligus pendamping utama dalam
kajian belajar Al-Quran ibu-ibu ini. Siang sebelum kajian, Umi Nunung sempat
berpesan bahwa beliau telat hadir. Beliau ada agenda persiapan terakhir seminar
di sebuah Sekolah Dasar Islam Terpadu. Umi Nunung berperan sebagai moderator
sekaligus wali murid. Beliau juga berpesan kepadaku untuk memulai belajar Iqra’
bersama terlebih dahulu.
Hujan belum juga reda. Sedang ibu-ibu peserta
kajian belum jua terlihat ada yang datang. Pikirku, sepertinya hujan akan turun
lebih lama. Setelah sejenak berfikir, akhirnya kuputuskan untuk mengabarkan
kepada Umi Nunung bahwa kemungkinan kajianya diundur pekan depan.
Ku tunggu beberapa saat, hingga kemudian satu
pesan masuk di handphone-ku.
“Alhamdulillah.. OK Mba. Iya ini hujannya lebat
sekali,” balas Umi Nunug lewat pesan singkatnya. Alhamdulillah.. perasaanku
sedikit lega. Pikirku, sepertinya akan sangat merepotkan Umi Nunung apabila
hujan lebat seperti ini harus menembus hujan dari daerah pusat kabupaten ke
tempat ini yang jaraknya mencapai 12 km.
Tiga puluh menit berlalu dari sejak aku datang ke
tempat ini. Bulir hujan kini berubah menjadi rintik air yang lembut. Langit
yang tadinya kelam berubah sedikit terang. Dan, di luar prasangkaku.. hujan
benar-benar reda kali ini. Hanya meninggalkan genangan air di beberapa titik
dan tanah yang basah.
Hal lain yang tidak kalah membuatku sedikit
tercengang, seorang ibu peserta kajian datang mengendarai motornya. Kemudian,
tak selang lama satu per satu ibu-ibu lainnya pun menyusul hadir. Ya Allah..
antara senang dan sedih, karena terlanjur mengirim sms ke Umi Nunung kalau kajian pekan ini libur.
Namun bagaimanapun semua harus dihadapi, pikirku.
Akhirnya kupersiapkan papan tulis yang akan dipakai untuk mengajar. Karena tak
kudapati spidol, kuminta nenek sang pemilik rumah untuk mencoba mencarikannya.
Sebagian ibu yang datang di awal menyapu lantai dan menggelar tikar.
“Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh.”
Kubulatkan hatiku untuk mengajar ibu-ibu yang
kini duduk di depanku. Jumlah mereka sekitar 6 orang. Kukuatkan mentalku seketika salam terucap dari
bibirku. Setelah itu kami membuka kajian dengan membaca basmallah bersama-sama.
Pada saat itu, kujelaskan tentang dialogku dengan Umi Nunung via sms, sembari meminta maaf kepada ibu-ibu
sekalian atas ketidakhadiran Umi Nunung.
Alhamdulillah.. mereka memaklumi. Kemudian yang
membuat besar hatiku, mereka pun dengan lapang dada menerimaku untuk mengajar
mereka. Kata salah seorang di antara ibu-ibu, “Sama saja. Kan sama-sama ngaji.”
Masya Allah, aku begitu terharu dengan semangat
mereka. Ya Allah.. mudahkan merea belajar Al-Quran. Berikan kepahaman dan rasa
senang bagi mereka untuk belajar Al-Quran. Hingga kemudian Engkau karuniakan
sikap istiqomah kepada mereka untuk tetap belajar, Ya Rabb..
“A, Ba, Ta..” satu per satu mulai kuajarkan huruf
hijaiyah kepada mereka.
“A, Ba, Ta..” cetus mereka dengan serempak
mengikuti aba-abaku.
Begitu seterusnya, sambil sesekali kuselingi
dengan menguji kemampuan bacaan huruf hijaiyah mereka satu per satu secara
bergiliran. Setelah dirasa sudah mampu menguasai makhraj dasarnya, kutambah dengan huruf-huruf yang lain, serta
menekankan bagaimana cara membacanya. Lalu setelah itu ibu-ibu menirukan
bersamaan, mengulang beberapa kali, dan tak lupa mereka mencoba satu per satu
mengeja huruf-huruf yang telah dipelajari. Terkadang membaca secara berurutan,
kadangkala disandingkan dengan sifat huruf yang berdekatan.
Begitu terus. Mengulang dan mengulang supaya
lebih paham dan kian hafal. Meski beberapa ada yang cukup kesulitan merapal
huruf-huruf yang telah diajarkan, namun para ibu-ibu tersbut terus bersemangat.
Maklum saja, sedikit dari mereka adalah nenek-nenek lanjut usia yang sejumlah
giginya telah tanggal tak berbekas. Untuk mengeja huruf “Tsa”, “Dza”, “Dzo”
atau “Za” mereka harus berjerih payah.
Terlebih untuk mengucapkan huruf “Dhlo” yang harus menarik lidah ke geraham
samping kanan atau kiri. Jangankan yang lanjut usia, untuk huruf yang satu ini
ibu-ibu yang lebih muda pun belum terbiasa.
Meski tertatih, semangat ibu-ibu ini patut
diteladani. Terbukti bahwa meski sebagian terlambat datang, ibu-ibu tersebut
langsung menyesuaikan diri. Mereka berusaha mengikuti pelajaran dengan sepenuh
hati. Tak terasa, hingga mendekati Sholat ‘Ashar, jumlah mereka mencapai 13
orang. Alhamdulillah..
Satu hal lagi yang tidak kalah membuatku berdecak
kagum adalah. Di antara mereka terdapat seorang ibu yang statusnya mualaf. Allahuakbar. Meski mengaku baru
sebulan memeluk Islam, ibu ini tak kalah semangatnya untuk belajar. Bahkan
berkurang penglihatan karena matanya yang sakit tidak membuat ibu ini untuk
diam dan menyerah. Ia mengandalkan pendengarannya untuk bisa menyejajari
kemampuan teman-temannya dalam mengeja huruf hijaiyah. Masya Allah...
Segala puji bagi-Mu Ya Allah.. yang membukakan
pintu hati setiap insan yang ingin mendekat kepada-Mu. Terimaksih untuk segala
ni’mat dan hikamh yang Engkau berikan kepadaku tak kenal lelah. Sungguh,
kesucian hanya milik-Mu. Semoga Kau ampuni segala dosa kami Ya Allah.. Semoga
Kau istiqomahkan kami untuk berjalan mencari ridho-Mu. Hingga pada akhir hayat
kami, hanya ke-esaan nama-Mu yang terakhir kami agungkan melalui lisan kami.
Aamiin..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar