Selasa, 26 Februari 2013

Teori dan Pondasi Filisofis

Definisi
Ada beragam definisi yang bermunculan dalam memberikan penjelasan tentang apa itu teori. Menurut Sir Karl Popper (1959) dalam Miller (2001: 18) teori didefinisikan sebagai “net cast to catch what we call the world”, jaring untuk menangkap realitas di sekitar kita. Miller dalam bukunya Communication Theories: Perspectives, Processes, and Contexts menambahkan bahwa teori membantu memahami atau menjelaskan fenomena yang kita amati di dunia sosial. Lebih lanjut, teori didefinisikan sebagai seperangkat abstrak gagasan yang membantu memberikan pengertian pada perilaku. Rosenberg (1966) dalam Miller (2001:20) menambahkan bahwa abstraksi yang dimaksud di sini lebih menekankan pada level yang lebih tinggi dari sebuah observasi aktual. Teori memiliki tujuan menjelaskan dan mensistemasikan penemuan yang lebih mendasar.

Pendekatan
Berbicara lebih jauh tentang teori, ada dua pendekatan yang bisa digunakan. Pertama, pendekatan deduktif yang cenderung memberikan keunggulan atau penekanan pada kedudukan teori itu sendiri dalam praktik membangun teori. Abstrak teori dibangun terlebih dahulu, kemudian observasi empiris dilakukan guna menguji kebenaran teori. Sedangkan pendekatan induktif berpandangan bahwa observasi terlebih dahulu hadir sebelum teori.

Fungsi
Pembahasan tentang teori juga tidak bisa lepas dari pertimbangan tentang apa fungsi dari teori tersebut. Bernard Cohen dan Larry Laudan dalam Miller (2001:21-22) menyebutkan bahwa fungsi utama sebuah teori adalah menyelesaikan permasalahan. Laudan (1977) memulai dengan dua tipe masakah, yaitu masalah empirik (segala sesuatu yang sangat ganjil ataupun sebaliknya yang butuh penjelasan) dan masalah konseptual (meliputi masalah internal dan eksternal dalam teori itu sendiri). Selain kedua jenis permasalahan tersebut, Cohen (1994) menambahkan kategori masalah praktis yang berhubungan dengan peran teori dalam menyelesaikan masalah keseharian.





Bahan Bacaan:
Miller, Katherine. 2001. Communication Theories: Perspectives, Processes, and Contexts. New York: McGraw-Hill.

Senin, 04 Februari 2013

Ujian Akhir Semester Komunikasi Kontemporer


1. Perubahan paradigma diplomasi dari diplomasi tradisional yang berbasis pada hubungan antar pemerintah menjadi diplomasi publik yang berbasis pada hubungan pemerintah di suatu negara dengan publik di negara lain menjadikan public relations sebagai bagian penting dari proses diplomasi publik. Jelaskan kenapa demikian! Berikan contoh dan ilustrasi praktek-praktek diplomasi publik yang memanfaatkan dengan baik strategi public relations.

Era perkembangan teknologi yang semakin pesat serta arus globalisasi yang berkembang luas telah membuka peluang bagi individu atau organisasi untuk berkomunikasi dan menjalin relasi dengan pihak lain di berbagai wilayah, bahkan di luar negeri sekalipun. Mealui internet seorang penduduk di suatu negara dapat dengan mudah mendapatkan akses informasi dari negara lain sesuai kebutuhannya. Pada level ini, pencitraan menjadi posisi tawar yang penting dalam menumbuhkan kepercayaan publik atas informasi yang diperolehnya.
Di sisi lain, era pasar bebas telah menciptakan kondisi di mana sebuah organisasi pemerintah atau perusahaan internasional serta organisasi lain yang berskala global menghadapi publik dengan kuantitas dan tingkat pengetahuan serta kondisi sosiologis yang berbeda-beda. Tantangan lainnya adalah sebuah produk atau jasa yang ditawarkan oleh organisasi pun kemudian harus bersaing dengan produk lain dari berbagai negara yang memiliki kualitas beragam. Dengan demikian peran public relations semakin dibutuhkan guna menguatkan dan mengorganisir hubungan yang baik dengan pihak-pihak terkait.
Menurut Cutlip, Center dan Broom (2006: 5) seorang public relations memiliki peran dalam fungsi manajemen pembentukan dan pemeliharaan mutu hubungan yang saling menguntungkan antara organisasi dan publik. Hubungan ini nantinya akan menentukan kegagalan dan keberhasilan organnisasi tersebut. Kemudain, dalam istilah global public relations, usaha terencana dan terorganisir oleh organisasi ini akan melibatkan publik dalam skala yang lebih luas, yaitu antarnegara di dunia. Praktek global public relations ini ketika dilaksanakan oleh negara maka akan menjadi bagian dari public diplomacy.
Shimp dan Delozier (1986) dalam Kade Dwi Cahaya (2009) menjelaskan bahwa public relations yang terdiri atas beberapa aktivitas khusus sangat bermanfaat dan efektif untuk menciptakan product awareness, membangun opini, sikap dan persepsi positif publik terhadap organisasi beserta produk-produknya serta merangsang terjadinya aktivitas pembelian. I Gusti Ngurah Putra (2009) dalam tulisannya “Strategi Public Relations dalam Menghadapi Era Pasar Bebas” menambahkan bahwa strategi kehumasan membantu mengarahkan pentingnya memahami siapa publik suatu organisasi yang harus diperhatikan dan bagaimana komunikasi antara organisasi dengan publik yang sudah teridentifikasi dapat berjalan. Dengan demikian, harapannya dukungan publik akan terbentuk dengan baik terhadap keberadaan suatu organisasi.
Salah satu praktek diplomasi publik yang memanfaatkan strategi public relations dapat dilihat dari usaha pengembalian citra Bali sebagai destinasi wisata dunia pasca bom Bali tahun 2001. Tantangan public relations di sini adalah memanejemen krisis dengan mengambil keputusan yang harus dikomunikasikan dengan baik kepada publik atas kebijakan-kebijakan suatu daerah tujuan wisata sehingga dapat mempertahankan hubungan yang pernah dibangun dengan berbagai pihak. Public Relations dalam konteks ini menurut Wasesa dalam Kadek Dwi Cahaya Putra (2008) berfungsi untuk mengalirkan informasi-informasi yang ringan sehingga mampu dikelola dalam benak audiens (wisatawan) guna membentuk citra yang diinginkan oleh sebuah daerah tujuan wisata.
Dalam program-program Recovery Bali, banyak dijalankan aktivitas yang menjadi bagian dari fungsi public relations yang meliputi media centre, fam trip untuk tour pperators, fam trips untuk jurnalis, road show, dukungan event, operasionalisasi dan administrasi (Bali Travel News 24 Nov. – 14 Des. 2006 dalam Kadek Dwi Cahaya, 2008). Dalam penjelasan tersebut ditambahkan, bahkan media centre, sebagai salah satu fungsi paling penting dari public relations, merupakan program Recovery Bali yang menyedot anggaran terbesar. Kucuran dana ini diperuntukkan bagi jasa PR-ing dan media campaign di media massa, cetak maupun eletronik, baik dalam maupun luar negeri.
Selain contoh di atas, praktik pemanfaatan strategi public relations dalam membangun diplomasi publik juga dapat dilihat pasca runtuhnya gedung WTC pada 11 September 2001 di Amerika. Fall dalam Kadek Dwi Cahaya Putra (2008) mengemukakan bahwa setelah peristiwa tersebut, berbagai organisasi mengubah strategi komunikasi mereka dengan lebih banyak menggunakan taktik public relations sebagai alat komunikasi pada umumnya dan alat promosi pada khususnya dibandingkan dengan taktik-taktik lainnya seperi Iklan (advertising), promosi penjualan (sales promotion), penjualan langsung (direct selling) dan lain-lain.




2. Global public relations kini menjadi kegiatan yang tak bisa diabaikan. Variable apa saja yang mempengaruhi perkembangan dan praktek global public relations? Berikan berbagai contoh dan ilustrasi!

Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan dan praktek global public relation. Beberapa faktor tersebut adalah sebagai berikut:
• Ideologi dan Sistem Politik
Proses demokratisasi telah berpengaruh pada konsep good governance yang menuntut pelaksanaan transparansi bagi kepentingan publik. Demokrasi sebagai salah satu sistem politik berpengaruh besar dalam pelaksanaan global public relations di mana sebuah negara berkepentingan “membuka keran” transfer komunikasi dan hubungan kerjasama yang terbuka antara satu negara dengan negara lain. Di sisi lain, dalam sebuah negara demokrasi, kebijakan pemerintah sedikit banyak akan dipengaruhi oleh opini publik yang muncul. Maka dari itu, salah satu usaha yang dapat dimanfaatkan dalam praktek global public relations dalam sebuah negara demokrasi adalah dengan memanfaatkan opini publik agar mendukung visi dan misi serta berbagai aktivitas yang dijalankan oleh sebuah organisasi atau perusahaan.

• Sistem Ekonomi
Sistem ekonomi pasar bebas telah menuntut sebuah organisasi atau perusahaan untuk mampu bersaing memanfaatkan peran public relations guna meningkatkan hubungan dengan pihak terkait agar mencapai keuntungan yang maksimal. Kekuatan sebuah brand menjadi pertimbangan tersendiri untuk memperluas pangsa pasar sebuah produk atau jasa yang ditawarkan. Isu krisis ekonomi sebuah negara turut mempengaruhi lembaga asing untuk menanamkan modal atau investasi di sebuah negara. Kebijakan dan kondisi ekonomi ini sangat berpengaruh terhadap praktik global public relations baik oleh internal negara maupun pihak lain.
• Tingkat Aktivisme Penduduk Lokal
Tingkat aktivisme penduduk lokal dapat dilihat dari bagaimana pertumbuhan gerakan-gerakan yang vokal menyuarakan kepentingan publik guna mendapatkan hak-haknya. Grunig dan Hunt dalam I Gusti Ngurah Putra (2008) menyebutkan bahwa salah satu jenis pubilk yang disebut sebagai active public harus mendapatkan perhatian dari praktisi hubungan masyarakat dalam merancang program-program kehumasannya. Active public biasanya merupakan kelompok orang yang mencari dan memproses informasi sebuah informasi tentang sebuah organnisasi atau tentang sebuah masalah yang menjadi kepentingan organisasi. Di negara-negara maju, aktivisme penduduk lokal ini mempunyai kekuatan yang tidak dapat dianggap remeh karena dapat mempengaruhi kebijakan suatu negara sekalipun. Daya kritisme dan tingkat kepedulian masyarakat menjadi salah titik tolak pertumbuhan aktivisme ini. Dalam tulisan yang berbeda, I Gusti Ngurah Putra (2009) menyebutkan bahwa menurut L. Grunig (1991) memberikan contoh kelompok penekan yang harus diperhitungkan dalam skala global adalah para aktivis baik pembela lingkungan hidup seperti Green Peace dan kelompok pembela konsumen seperti Ralph Nader di Amerika serikat serta kelompok organisasi buruh (labour unions). Kelompok ini menurut Grunig mampu mempengaruhi efektifitas organisasi bisnis. Mereka tidak segan-segan mempengaruhi kebijaksanaan publik, ataupun aktif menggalang kampanye menolak kehadiran produk-produk tertentu. Sebagai contohnya, produk sepatu Reebok produksi Indonesia pernah diboikot karena dianggap melakukan praktek eksploitasi buruh yang digaji murah.

• Budaya Masyarakat
Nilai, kebiasaan atau internal security sebuah negara akan menjadi pertimbangan tersendiri bagi sebuah organisasi atau perusahaan untuk melakukan praktek global public relations. Di negara-negara maju, faktor kesehatan, perlindungan tenaga kerja atau kepedulian lingkungan menjadi beberapa topik perhatian yang turut dipertimbangakan selain kualitas sebuah produk atau jasa yang ditawarkan. Nilai-nilai yang dijunjung tinggi dan dihargai oleh masyarakat ini sudah sepatutnya dijadikan dasar pertimbangan tersendiri bagi praktek global public relations agar mendapatkan kepercayaan publik yang kuat. Di Indonesia misalnya, produk yang bersetifikasi halal menjadi kekuatan tersendiri untuk meyakinkan masyarakat yang sebagian besar beragama Islam bahwa sebuah produk makanan diperbolehkan untuk dikonsumsi.

• Sistem dan Budaya Media/Komunikasi
Sistem komunikasi dan media ini berkorelasi dengan sistem politik dalam sebuah negara. Ketika sebuah negara bersistem politik demokrasi, maka akan ada kebebasan pers yang memberikan peluang bagi penyuaraan aspirasi publik. Sistem media yang cenderung sangat longgar seperti di Indonesia misalnya, berpengaruh bagi praktik global public relations dalam menjalankan strategi pemasaran dan pencitraan organisasi atau perusahaan sebuah negara dalam memilih strateginya. I Gusti Ngurah Putra (2009) dalam artikelnya “Strategi Public Relations dalam Menghadapi Era Pasar Bebas” menjelaskan bahwa strategi komunikasi dalam praktik komunikasi dengan publik internasional harus mempertimbangkan saluran-saluran komunikasi yang digunakan publik sebagai sumber pembentukan pemahaman mereka terhadap realitas praktek bisnis dan politik di sebuah negara. Lebih lanjut I Gustri Ngurah Putra menyebutkan bahwa hasil penelitian Albritton dan Manheim (1985) dan Manheim & Albritton (1984) tentang usaha-usaha yang dilakukan negara-negara dunia ketiga untuk mempengaruhi pendapat umum internasional dan melakukan lobi di Washington dengan menyewa perusahaan public relations internasional sedikit banyak membuktikan bahwa liputan media massa terhadap negara dunia ketiga menjadi sedikit lebih netral. Di sisi lain, era internet dan media baru seperti saat ini telah memberikan pengaruh besar terhadap strategi promosi dan komunikasi produk dan jasa hingga ke mancanegara dengan sangat mudah. Hingga saat ini, banyak perusahaan penyedia jasa public relations dunia yang memanfaatkan jaringan internet untuk memperluas pasarnya. Hadirnya internet ini juga dapat dimanfaatkan oleh sebuah organisasi atau perusahaan untuk praktek pencarian informasi dan pemantauan lingkungan guna melakukan adaptasi terhadap tuntutan public yang semakin kompleks di berbagai belahan dunia.




3. Literasi media adalah konsepsi yang relatif baru dalam kajian media. apa yang dimaksud dengan literasi media dan bedakan dengan konsep pendidikan media (media education) dan pemantauan media (media watch)! Jelaskan dan berilah contoh yang relevan.

Potter (2001:4) dalam bukunya Media Literacy mendefinisikan literasi media sebagai prespektif di mana individu secara aktif merespon media dalam rangka menafsirkan makna atas pesan yang ditemuinya. Perspektif yang digunakan individu ini dibentuk dari struktur pengetahuan masing-masing individu berdasar pada kecakapan dan informasi yang diperoleh dari media dan lingkungan sekitar. Potter menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan penggunaan aktif bermedia di sini adalah adanya kesadaran individu terhadap pesan yang disampaikan oleh media dan interaksi yang dibangun dengan media. Ada tiga struktur pengetahuan yang menurut Potter dalam Adiputra, Retno dan Rahmadian (2006: 18) dianggap penting untuk membangun perspektif literasi media seorang audiens media massa. Struktur pengetahuan tersebut adalah struktur pengetahuan isi media, industri media, dan efek media.
Selanjutnya, Potter menjelaskan tipologi literasi media salah satunya sebagai sebuah kontinum yang mengandung pengertian semua orang pada dasarnya memiliki pemahaman mengenai media meskipun berbeda derajat pemahaman yang dimiliki oleh satu individu dengan yang lain. Seorang praktisi media cenderung akan memahami bahwa media merupakan representasi dari ideologi yang dimiliki sebuah organisasi media atau kelompok penguasa media. Pemahaman ini mungkin tidak akan dimengerti oleh orang awam yang dalam kehidupannya tidak bersinggungan dengan media. seorang petani misalnya, mereka bisa saja memahami pemberitaan yang ditayangkan sebuah televisi atau surat kabar tentang buruknya sistem pemerintahan murni sebagai ketidakbecusan presiden atau pemerintah “mengurus rumah tangga” negara sesuai teks yang disampaikan oleh media. Pemahaman bahwa media adalah representasi dari kondisi fakta di lapangan oleh petani ini bisa disebutkan bahwa individu tersebut memiliki tingkat literasi yang cukup rendah.
litersi media juga disebutkan Potter bersifat multi-dimensional yang meliputi sisi kognitif, emosional, estetik dan moral. Sisi kognitif berhubungan dengan pemahaman akan perbedaan fakta dan opini. Sisi emosional berkaitan dengan perasaan seseorang dalam menerima sebuah pesan. Sisi estetik mengandung pemahaman akan bagaimana sebuah proses produksi pesan sehingga dapat membantu seseorang memahami mana kualitas konten yang baik dan tidak. Sedangkan permasalahan moral berkaitan dengan nilai yang berusaha disajikan atas sebuah informasi. Salah satu contoh tingkat literasi media yaitu terkait pemahaman ini melihat bagaimana sisi sensifitas seseorang diuji dalam menyaksikan atau menerima pesan yang berbau kekerasan atau ekspos media yang berlebihan atas sebuah kasus yang tidak manusiawi. Salah satu tujuan dari literasi media adalah untuk memberikan kontrol bagi individu ddalam menginterpretasikan makna sebuah informasi yang diterima dari media.
Istilah lain yang sering kita dengar adalah media pendidikan. berbeda dengan media literasi yang lebih menekankan pada kecakapan atau keterampilan dalam memilah dan menganalisis informasi, media pendidikan lebih memfokuskan pada pemahaman bermedia atau memanfaatkan media. Keterampilan dalam literasi media sampai menyentuh bagaimana sebuah produksi pesan diprosuksi, sehingga mengetahui aktor dan sistem yang berpengaruh di dalamnya. Sedangakan dalam pendidikan media hanya sampai konteks dan manfaat yang diperoleh melalui media dalam proses pendidikan. Seperti yang dikemukakan Schramm (1984: 2) bahwa titik tekan media pendidikan atau media instruksional adalah dengan memberi perhatian lebih pada aspek pendidikan yang dituju oleh media, yang dapat digunakan untuk keperluan hiburan, penyampaian informasi, dan kemudian beralih pada kegiatan pengajaran. Sebagai pemanfaatan konsep pendidikan media ini, banyak riset yang dilakukan guna memanfaatkan media dalam proses pembelajaran di kelas-kelas.
Konsep lainya adalah media watch (pemantauan media) di mana dalam konsep ini lebih menekankan pada praktik pemantauan konten media yang dianggap tidak sesuai dengan kode etik atau melanggar nilai-nilai yang disepekati oleh masyarakat. Pemantauan media ini dapat dilakukan oleh pihak-pihak terkait seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, lembaga media dalam suatu negara ataupun masyarakat sendiri. Konsekuensi dari pemantauan media ini salah satunya adalah dibutuhkannya peran aktif berbagai pihak untuk mengontrol konten media yang tidak sesuai aturan dan kode etik yang berlaku.




4. Beberapa tahun terakhir ini kampanye literasi media marak di Indonesia, sayangnya berbagai elemen di dalam masyarakat sipil belum menjalankannya secara kolaboratif. Jelaskan tipologi gerakan literasi media di Indonesia. Menurut Anda, bagaimana semestinya posisi pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, lembaga pendidikan, bahkan industri media bekerja secara sinergi dalam kampanye literasi media?

Pelaksanaan program literasi media di Indonesia selama ini bisa dikatakan sedikit sporadis dan kurang tersinergi. Penyuksesan program literasi media masih dilakukan oleh kelompok-kelompok terbatas seperti yang digalakkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan kurang didukung oleh pemerintah maupun pihak organisasi media sebagai penanggungjawab konten.
Menurut Adiputra, Retno dan Rahmadian (2006:23) dalam laporan penelitiannya terkait literasi media menyebutkan bahwa beberapa LSM yang melakukan kampanye literasi media (Yayasan Jurnal Perempuan dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia) tidak melandasi kegiatan kampanyenya dengan konsep yang kuat. Selama ini belum ada pembagian kelompok masyarakat yang jelas dalam kategorisasi penerima program literasi media. Materi literasi media yang diberikan pun seringkali kurang fokus pada kebutuhan dan kapasitas kemampuan masyarakat atau objek penerima kampanye dalam menyikapi media itu sendiri. Di Indonesia, topik riset akademis tentang literasi media sendiri masih sangat jarang.
Melihat keberadaan media yang semakin tidak terpisahkan dari aktivitas keseharian serta dampak media yang cukup signifikan dalam mempengaruhi perilaku masyarakat, maka program “cerdas bermedia” semakin menjadi sebuah kebutuhan. Selain membekali masyarakat untuk kritis melihat media, usaha literasi media turut berfungsi sebagai elemen pemberdayaan masyarakat dalam mengawal proses demokrasi yang sepatutnya menjadi tanggungjawab media. Tentu saja usaha kampanye literasi media ini perlu didukung oleh berbagai pihak untuk mencapai kesuksesan yang optimal. Adapun pihak-pihak yang semestinya turut mengambil bagian dalam kampanye ini adalah sebagai berikut.
• Pemerintah
Pemerintah mempunyai posisi sentral dalam mengeluarkan kebijakan dan segala bentuk regulasi pengaturan media. Sebagai pihak yang bertanggungjawab untuk melindungi warganya, maka pemerintah sudah semestinya mengarahkan dan mendorong media untuk memberikan konten yang mendidik serta mengandung unsur-unsur yang membangun. Penindakan secara tegas kepada industri media atau oknum yang melanggar kebijakan yang telah ditetapkan sehingga merugikan rakyat ataupun negara sudah semestinya mendapatkan sanksi yang tegas dan mengikat. Selain itu, pemerintah dituntut aktif untuk terus melakukan kontrol secara demokratis terhadap kebebasan media yang saat ini cenderung “di luar batas”.
• LSM
Lembaga Swadaya Masyarakat merupakan salah satu wadah yang perlu memaksimalkan perannya dalam menggalakkan kampanye literasi media. Dalam beberapa kondisi, berbagai LSM ini diharapkan saling menjalin hubungan antara satu dengan yang lain. Hal ini berfungsi untuk mensinergikan program kampanye literasi media serta memberikan domain yang jelas atas materi dan program literasi yang diberikan kepada masyarakat atau kelompok tertentu. Pengawalan LSM dalam membina masyarakat akan semakin menciptakan generasi yang sadar media dan kritis menerima informasi.
• Lembaga pendidikan
Program cerdas bermedia turut perlu dikuatkan dalam lembaga-lembaga pendidikan. Hal ini mengingat generasi terdidik merupakan golongan yang berpotensi mengajarkan pengetahuan kepada masyarakat di sekitarnya, termasuk dalam lingkup kecil seperti keluarga. Kurikulum tambahan tentang sadar bermedia dapat mendorong terciptanya generasi yang peduli dan cerdas memilih tayangan media yang berkualitas. Riset dan kajian tentang literasi media juga perlu dilakukan agar pelaksanaan kampanye literasi di masyarakat memiliki landasan konseptual yang mendukung.
• Industri media
Industri media perlu mengurangi ideologi materialismenya guna menciptakan konten yang turut pendidikan masyarakat. Fungsi media sebagai sarana pendidikan perlu dibuktikan dengan turut adil menciptakan masyarakat yang cerdas dan toleran dengan tayangan media yang mendukung nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.




Daftar Pustaka

Adiputra, Wisnu Martha., Retno Ayati, dan Rahmadian Martha Stania. 2006. Menggagas Pendidikan Literasi Media Televisi di Indonesia. Yogyakarta: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Gadjah Mada.
Cutlip, Scott M., Allen H. Center, dan Glen M. Broom. 2006. Effective Public Relations. New Jersey: Pearson Education.
Potter, W. James. 2001. Media Literacy. London: Sage Publications.
Putra, I Gusti Ngurah. 2008. Manajemen Hubungan Masyarakat. Jakarta: Univversitas Terbuka.
-------------. 2009. Strategi Public Relations dalam Menghadapi Era Pasar Bebas. Terarsip di http://indopure.wordpress.com/category/artikel/. Diakses pada 7 Januari 2013.
Putra , Kadek Dwi Cahaya. 2008. Strategi Public Relations Pariwisata Bali. Terarsip di http://jurnal.uajy.ac.id/jik/files/2012/05/3.-Kadek-Dwi-Cahaya-Putra-41-66.pdf. Diakses pada 7 Januari 2013.
Schramm, Wilbur. 1984. Media Besar Media Kecil; Alat dan teknologi untuk Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Press.