Rabu, 18 April 2012

Adalah Bapak

Malam ini adalah dateline sayembara menulis yang diselenggarakan sebuah penerbit ternama negeri ini. Jari-jariku asyik bercengkrama dengan tust-tust keyboard sejak tiga setengah jam yang lalu. Kedua bola mataku hampir tak beranjak dari layar 12,1 inch Acer Aspire 2920Z di depanku. Kursor di lembar dokumen word-ku tak jemu berkedap-kedip, seolah ingin segera menggoreskan sejuta untaian kata. Sedang pikiranku masih melanglang buana, mengenang masa dua tahun lalu, ketika gelar mahasiswa masih segar kuterima.
~~


Beberapa minggu lagi Ujian Akhir Semester (UAS) hadir menyapa. Seperti biasanya, tugas-tugas makalah take home pengganti UAS mulai berdatangan. Berbeda dengan semester lalu, kali ini batas minimal naskah semakin meningkat, yaitu seribu lima ratus kata. Sedang tugas makalah lain menuntut paling tidak mencapai sepuluh halaman kuarto.
Tidak adanya komputer di rumah menuntutku untuk memutar otak agar tugas ujian terselesaikan sebelum dateline. Pernah suatu ketika aku meminta Bapak membelikan laptop untuk keperluan tugas-tugasku. Namun karena alasan tak ada dana, Bapak serta-merta menolaknya. Berkali-kali kujelalaskan betapa pentingnya laptop itu bagi kelancaran studiku kepada Bapak. Tetapi respon Bapak masih sama, intinya kalau tidak sangat mendesak, tidak perlu membeli “barang mewah” dengan harga melangit itu.

Akhirnya, kuputuskan memanfaatkan jeda waktu kuliah untuk mengetik naskah di perpustakaan. Hitung-hitung dapat mengerjakan tugas sekaligus gratis searching data. Dengan begitu aku tak perlu merepotkan keluarga Om-ku karena seringkali memakai komputernya hingga larut malam. Selain itu, aku tak perlu susah-susah pergi ke warung internet di daerahku yang jaraknya mencapai tiga hingga lima kilometer. Berhari-hari aku ke perpustakaan usai kuliah untuk mengerjakan tugas hingga malam menjelang. Hingga suatu ketika, tibalah saat kesabaranku diuji ketangguhannya.
Hari itu seperti sebelumnya, aku ke perpustakaan kampus tak jauh dari fakultasku untuk mengetik tugas. Dengan pertimbangan untuk mendapatkan data yang cukup, aku yang saat itu keasyikan di depan komputer pentium tiga yang lemot, akhirnya baru keluar perpustakaan sekitar pukul setengah delapan malam. Di parkiran fakultas, kulihat hanya tinggal dua motor yang masih tersisa. Satu motorku dan satunya lagi motor gedhe khusus lelaki yang terparkir gagah.

Sejenak kuamati ada yang ganjil dengan posisi motorku. Jaket yang tadinya kusampirkan hampir menutupi spidometer, kini terlilit di stang motor dan ditutupi helm. Jaketku yang lusuh kian kusut tak terkira. Batinku, “Iseng sekali orang yang melakukan perbuatan ini.”
Namun, aku merasa sangat heran ketika mendapati motorku dalam kondisi terkunci stang menghadap ke kanan. Padahal aku tidak merasa menguncinya saat kutinggalkan esok tadi. Saat berusaha aku geser maju, ternyata posisi gigi sepeda motorku tidak pada kondisi nol. Lalu aku mencoba memasukkan kunci motorku pada lubangnya. Namun, meski berulangkali kupaksa, badan kunciku tak berhasil masuk sepenuhnya. Seperti ada yang mengganjal di lubang kuncinya. Seketika jantungku berdetak lebih kencang. Kecurigaan mulai menyesap dalam dada.

Segera kucari bala bantuan. Beruntung ada satpam yang masih berjaga. Setelah dibongkar paksa, akhirnya stang motorku berhasil dipulihkan seperti kondisi semula. Aku pun pulang dengan perasaan sangat kacau. Seketika itu, aku merasa sangat kesal dengan bapakku. Sedih, kecewa, benci bercampur menjadi satu.
Pikirku, tega sekali Bapak membiarkan putri sulungnya hampir setiap malam pulang seorang diri menempuh jarak Sleman-Bantul sejauh 35 km. Belum lagi jalanan yang dilewati cukup sepi dan kurang penerangan. Bagaimana jika sewaktu-waktu ada penjahat yang merampas harta dan membahayakan jiwaku? Tidakkah Bapak khawatir dengan keadaanku? Bagaimana bisa Bapak tak mengabulkan permohonanku membeli laptop, sedang hampir saja motorku hilang digondol maling.
~~

“Motornya rusaaak…,” begitu teriakku kesal saat Bapak keluar dari pintu depan sesampainya aku tiba di rumah. Tentu saja Bapak cukup terkejut dengan pertanyaanku. Pulang-pulang bukannya mengucapkan salam tetapi justru memasang muka masam.
“Rusak yo wis,” jawab Bapak singkat, seolah sudah biasa mendengar keluhanku. Tak heran, motorku memang langganan “ngadat” karena jarang diservis.
“Bapak nyebelin.. Bapak nyebelin.. Bapak nyebelin..,” seketika kumaki Bapak sekenanya. Entah terhasut setan dari mana, kejengkelanku seperti sudah naik ke ubun-ubun. Tak peduli apa komentarnya, segera aku menghambur ke kamar dan mengangis sejadinya.
“Beliin laptop tho Pak.. Motornya mau dicolong orang gara-gara aku kelamaan garap tugas di Perpus. Untung bisa ngunci stang sendiri. Nek ndak bisa gimana?” teriakku protes tanpa pikir panjang.
“Bapak itu punya duit po piye? Tau bapaknnya kerja ndak mesthi kok,” teriak Bapak tak kalah keras. Bapak yang malam itu lelah mengurusi tadarusan bersama di rumahku, emosinya mulai tersulut. Belum selesai membereskan perlengkapan yang dipakai tadarusan, kini Bapak harus direpotkan dengan omelan anaknya.
“Sapine Bapak kan masih ada, itu buat apa? Beliin laptop tho Pak.. Sama anaknya sendiri kok pelit!” Tak aku hiraukan kata-kata Bapak. Bagiku Bapak sangat egois saat itu.
“Terserah! Nek mau nagis sana nangis,” pungkas Bapak seketika.
~~

Kurang lebih satu minggu kemudian Bapak memberiku uang sekian juta. Untuk apa lagi, kalau bukan menyenangkan hati anaknya agar mendapatkan laptop yang diimpikannya. Dengan kebahagiaan tak terkira, segera kubeli laptop bekas dengan kondisi yang masih bagus dari teman kuliahku.
Belakangan aku baru tahu, Bapak menjual sapinya kepada seorang saudara yang kerja di Jakarta. Dengan sistem bagi hasil, sapi itu tetap diserahkan pemeliharaannya kepada Bapak. Jika sudah beranak, maka nilai jual anak sapi itu nantinya akan dibagi dua. Ini kedua kalinya Bapak merelakan sapi yang telah dipelihara bertahun-tahun untuk keperluan kuliahku. Kurang lebih setengah tahun sebelumnya, sapi yang dijadikan investasi andalan keluarga telah dipertaruhkan sebagai jaminanku masuk ke perguruan tinggi idaman.

Ya, hingga kini Bapak masih berpayah-payah merawat sapi yang statusnya bukan miliknya sepenuhnya. Setiap harinya Bapak bisa mengangkat dua hingga tiga ikat besar rumput gajah seberat 40 kg dari sungai. Bertahun-tahun Bapak melakukan ini semua. Untuk siapa lagi kalau bukan keluarga, termasuk aku sebagai anaknya.

Walau lebih dari separuh rambutnya telah memutih, namun fisik bapakku masih sangat kuat. Badannya yang hitam legam karena terik matahari terlihat sangat berotot. Bukan akibat fitness tentunya, melainkan karena kerja serabutan membanting tulang demi keluarga. Mulai dari menggarap sawah, menjual beberapa hasil kebun, hingga menjadi buruh pengangkut pasir dijalani Bapak agar aku dan kedua adikku dapat tenang bersekolah.

Kini, sudah dua tahun laptop ini ada di tanganku. Sudah dua tahun sejak aku merengek seperti anak kecil minta dibelikan laptop, telah banyak yang berubah dari kebiasaan dan pengetahuanku. Aku yang saat SMA bahkan tak tahu cara memasukkan flashdisk ke komputer, kini aku sudah paham apa manfaat email. Aku pun mulai berkarya di blog dan tak asing lagi dengan facebook, twitter dan berbagai pernik dunia maya lainnya.



Namun, hampir tak ada yang berubah dari Bapak. Bapak masih sama sederhananya dengan dua atau bertahun-tahun lalu. Bahkan sampai saat ini pun, bapakku tak pernah memegang benda ajaib bernama laptop yang berharga jutaan rupiah itu. Bapak tak pernah menonton film yang aku copy dari teman-temanku di waktu senggangnya. Bapak tak pernah memainkan fitur-fitur game saat pikirannya ruwet dengan kendala ekonomi keluarga. Aku bahkan tak yakin apakah bapakku paham tentang fungsi laptop selain untuk mengetik.

Melihat aku asyik di depan laptop sudah cukup membuat Bapak bahagia. Bapak tak peduli dikatakan orang desa yang tidak melek teknologi. Dirinya tak malu menjadi orang yang sederhana. Jangankan punya handphone, Bapak membaca pun masih terbata. Maklum saja, Bapak tidak lulus Sekolah Dasar. Rumahnya dilalap jago merah ketika masih duduk di kelas dua. Karena kekurangan biaya, dan tak mau membebani orangtua, Bapak memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya.
Dari bapaklah aku belajar menjadi orang yang nerimo, apa adanya. Bagi orang yang sudah mengenalnya, Bapak mungkin bukanlah sosok kharismatik yang penuh wibawa. Pembawaannya jarang serius, bahkan seringkali berlebihan dalam bercanda. Namun demikian, bagiku Bapak adalah inspirasi yang tak pernah habis untuk digali.


Tak dapat dipungkiri, aku memang mendapatkan kesenangan dengan laptop yang kumiliki. Aku memperoleh pengalaman-pengalaman baru dengan benda canggih hasil rekayasa teknologi ini. Namun aku jauh lebih bersyukur karena memiliki seorang Bapak yang tak pernah lelah memberiku pelajaran hidup. Aku bersyukur karena masih diizinkan menikmati kebahagiaan memiliki seorang Bapak, harta yang lebih berharga dari intan dan permata.

Malam ini, ketika adik-adikku asyik bersenang-senang mencari hiburan, ada seorang yang masih bekerja demi melihat kami bahagia. Malam ini, ketika nenekku telah pulas dengan mimpinya, ada sosok pejuang mimpi yang masih terjaga. Malam ini ketika ibuku khusyuk mengikuti pengajian di desa sebelah, ada jiwa yang tengah berusaha membersamai doa dengan karya. Adalah Bapak; berjuang menembus dinginnya malam untuk mengatur pengairan sawah sesuai kebutuhan. Adalah Bapak, pahlawan yang tak silau akan gelar dan penghormatan.