Kamis, 21 Oktober 2010

Teori Transisional Organisasi

Secara umum, teori dalam organisasi dapat dibagi menjadi tiga kerangka besar. Teori tersebut adalah teori struktural klasik, teori transisional dan teori mutakhir. Namun teori yang akan kita bahas saat ini lebih fokus pada teori transisional saja.
Teori transisional dapat dikatakan sebagai jembatan yang membahas teori klasik mengenai oragnisasi dan manajemen teori sistem serta perilaku yang lebih mutakhir. Konsepsi lama tetap memberikan pengaruh penting terhadap cara kita memahami organisasi. Nemun perbaikan-perbaikan dalam model mulai membawa perubahan praktis dalam cara kita merumuskan organisasi.

 Teori Perilaku
1.Teori Komunikasi Kewenangan (Chester Bernard)
Bernard memublikasikan The Function of Executive yaitu Fungsi pertama seorang eksekutif adalah mengembangkan dan memelihara suatu sistem komunikasi. Ia menyatakan bahwa organisasi adalah sistem orang, bukan struktur yang direkayasa secara mekanis. Definisi Bernard mengenai organisasi formal adalah suatu sistem kegiatan dua orang atau lebih yang dilakukan secara sadar dan terkoordinasikan.
Teori ini menganggap kewenagan merupakan suatu fungsi kemauan untuk bekerja sama. Bernard dikatakan sebagai pelopor yang menempatkan dan menjadikan komunikasi sebagai hal penting dalam sebuah perusahaan atau organisasi. Maka dari itu, teknis komunikasi lisan dan tulisan merupakan hal yang harus dipelajari guna meningkatkan kualitas dalam berkomunikasi.

2.Teori Hubungan Manusiawi (Elton Mayo)
Teori ini termasuk penemuan besar pada awal tahun 1950-an. Sebelumnya dilakukan penelitian tentang bagaimana korelasi antara penerangan lampu saat bekerja dengan tingkat produktivitas yang dihasilkan. Kesimpulan yang berkembang dari studi Hawthorne tersebut sering disebut Efek Hawthorne (The Hawthorne Effect). Kesimpulan tersebut adalah: (1) Perhatian terhadap orang-orang boleh jadi mengubah sikap dan perilaku mereka. (2) Moral dan produktivitas dapat meningkat apabila para pegawai mempunyai kesempatan untuk berinteraksi satu dengan lainnya.
Suatu organisasi pasti mempunyai ciri khas dan budaya yang berbeda-beda. Orang-orang yang terlibat di dalam organisasi pun mempunyai karakter sendiri-sendiri. Dari kontak sosial yang terjadi antar anggota kemudian akan muncul struktur informal hubungan sosial dibalik struktur organisasi formal.

3.Teori Fusi Bakke dan Argyris
Suatu proses fusi ditawarkan Bakke guna menghadapi banyaknya masalah yang timbul dalam rangka memuaskan minat manusia yang berlainan dan untuk memenuhi tuntutan penting struktur birokrasi. Bakke berpendapat bahwa organisasi pada suatu tahap tertentu akan mempengaruhi individu yang terlibat di dalamnya. Namun di sisi yang berbeda, individu juga dapat mempengaruhi suatu organisasi.
Sedangkan Argyris berpendapat kadang-kadang individu tersebut memiliki tujuan yang berlawanan dengan organisasi. Hal ini tergantung pada seberapa besar kematangan individu itu sendiri. Akibat ketidaksesuaian tujuan ini, terdapat dua kemungkinan yang akan dilakukan oleh anggota. Pertama, anggota tersebut keluar dari organisasi, atau tetap bertahan namun bersikap apatis terhadap apa yang sedang terjadi.

4.Teori Peniti Penyambung Likert
Rensis Likert berjasa mengembangkan suatu model yang menggambarkan struktur organisasi. Konsep ini berhubungan dengan kelompok-kelompok dalam organisasi yang saling tumpang tindih. Dari sini muncullah konsep supervisory dan penyedia atau supervisor berfungsi sebagai peniti penyambung. Teori ini lebih menunjukkan pada hubungan antar kelompok daripada hubungan antar pribadi. Misalnya dalam organisasi OSIS di SMA, seorang yang duduk di posisi koordinator divisi Bela Negara selain berada di bawah pertanggungjawaban ketua OSIS juga berperan ganda membawahi sub-divisi lain seperti tonti, kepramukaan, dll.
Dalam penelitiannya, Likert menyatakan bahwa gaya manajemen dapat diklasifikasikan menjadi 4 yaitu:
-Sistem 1
Hubungan antara atasan, organisasi dan bawahan sangatlah kaku. Arus komunikasi lebih ditekankan dari atas ke bawah dan bawahan tidak mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dengan atasan. Rasa saling percaya pada pesan yang disampaikan sangatlah minim. Akibatnya, timbullah organisasi informal yang mempunyai tujuan berbeda dengan organisasi yang ada.
-Sistem 2
Bawahan mempunyai sedikit kesempatan untuk memberikan masukan pada pengambilan keputusan. Mulai terdapat adanya kepercayaan dari manajemen pada bawahan. Kontrol kekuasaan berada di atas. Meskipun rasa curiga masih tetap ada, interaksi dilakukan untuk meraih tujuan organisasi.
-Sistem 3
Kebebasan berdiskusi antara manajer dan bawahan dan interaksi mulai dikembangkan. Meskipun demikian, manajer tidak terlalu percaya akan informasi yang disampaikan bawahan. Organisasi informal ada tetapi bersifat sama sekaligus bertentangan atau menolak manajemen.
-Sistem 4
Dalam sistem ini motivasi kerja dikembangkan dengan partisipasi yang kuat dalam pengambilan keputusan, penetapan goal setting dan penilaian. Manajemen sepenuhnya percaya pada bawahan. Semua diberi kesempatan untuk membuat keputusan. Alur informasi ke atas, ke bawah dan menyilang. Interaksi dalam sistem terbangun. Komunikasi ke atas pada umumnya akurat dan manajer menanggapinya dengan tulus atas feedback tersebut.


 Teori Sistem
Dalam suatu system, terdapat adanya keterkaitan antara komponen-komponen di dalamnya.
1.Teori Sistem Sosial Katz dan Kahn
Katz dan Khan berpendapat bahwa struktur sosial berbeda dengan struktur biologis. Apabila sistem sosial berhenti berfungsi, ia tidak lagi mempunyai struktur yang dapat diidentifikasi. Sistem sosial dipahami sebagai suatu struktur peristiwa. Dengan memandang organisasi sebagai sistem sosial yang terdiri dari manusia-manusia, maka komunikasi mutlak diperlukan. Hubungan yang terjalin antara orang-orang yang terlibat dalam suatu organisasi akan membuat organisasi bertahan lebih lama daripada jika individu di dalamnya bekerja secara terpisah dan tidak terjalin ikatan hubungan yang kuat.
Sebagai contoh, suatu perusahaan iklan akan lebih bertahan apabila bagian-bagian di dalamnya saling berkomunikasi dengan baik. Bagian marketing, public relation atau para praktisi desain grafis sekalipun harus terintegrasi secara emosional, bukan hanya struktural semata agar tujuan bersama menjaga branding dapat terwujud. Hubungan orang-orang di perusahaan iklan ini akan membentuk komunikasi yang terpola.
2.Teori Buck Bogers
Buck Rogers merupakan pencipta figur fiksi terkenal dan menginspirasi para tokoh penulis untuk melihat bagaimana nasib organisasi di masa datang. Alvin Toffler meringkaskan ciri-ciri birokrasi baru yang disebut ad-hokrasi sebagai bergerak cepat, kaya dengan informasi, sangat aktif, selalu berubah, terisi dengan unit-unit bersifat sementara dan individu-individu yang selalu bergerak. Dalam ad-hokrasi, bukanlah organisasi yang menarik komitmen pegawai, melainkan pekerjaan, problem yang harus dipecahkan dan tugas yang harus dilakukan. Para ad-hokrat menggunakan keahlian dan bakat mereka untuk memecahkan masalah dalam kelompok dan lingkungan temporer dalam organisasi, sejauh masalahnya menarik minat mereka. Beberapa ad-hokrasi memberi kesan kesederajatan yang merupakan ciri khas organisasi baru. Semua bagian dalam organisasi mempunyai posisi yang seimbang satu sama lain.



Daftar Pustaka:
Pace, R. Wayne and Faules, Don F. 1993. Komunikasi Organisasi Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan. Deddy Mulyana (ed). Remaja Rosdakarya. Bandung.

Sebuah Gambaran Pertarungan Arogansi Penguasa

Pertama kali melihatnya, mungkin film ”Battleship Potemkin” ini sulit dipahami. Dalam rangkaian cerita yang disuguhkan, Sergei Enstein menyisipkan pesan revolusi yang rumit. Film ini dapat disebut sebagai bentuk perayaan Revolusi Rusia yang gagal pertama kali. Dari titik inilah satu dekade kemudian mosi ketidakpercayaan rakyat terhadap Tsarisme mencapai titik kulminasinya hingga meletuslah Revolusi Oktober 1917.

Film bisu hitam-putih yang dirilis tahun 1925 ini mereka ulang pemberontakan para pelaut di kapal perang Potemkin pada musim panas 1905 sebagai salah satu babak penting Revolusi Rusia. Karena revolusi ini mampu memecahkan konsentrasi Dinasti Romanov yang tengah menghadapi Jepang untuk merebut dominasi ekonomi di Manchuria dan Semenanjung Korea. Dengan durasi 72 menit, pemberontakan Potemkin dibagi dalam lima episode pendek: The Men and The Maggots (Manusia dan Belatung), Drama at the Harbour (Peristiwa di Pelabuhan), A Dead Man Calls for Justice (Orang Mati yang Meminta Keadilan), The Odessa Staircases (Tangga Odessa) dan The Meeting with Squadron (Pertemuan dengan Skuadron).

Scene pertama diawali dengan cerita tentang pemberontakan pelaut Potemkin yang dipimpin oleh Frigory Vakulenchuk atas ketidakadilan yang diterima kaum pekerja. Tepat pada 27 Juni, perang pecah ketika marinir menolak perintah Evgeny Golikov, sang kapten kapal untuk mengeksekusi mati para pelaut ’pembangkang’ yang tidak mau memakan sup yang ternyata berasal dari daging busuk yang penuh belatung. Di atas kapal berkekuatan 12.500 ton itu akhirnya Vakulenchuk harus meregangkan nyawanya.

Sergein Einstein sangat lihai mengolah emosi penontonnya dalam potongan-potongan shot yang ditampilkan. Setelah dibuat sedikit jijik dengan ekspose kawanan belatung yang berjejalan dalam tubuh daging busuk, pada scene kedua kekecewaan penonton dipancing dengan tertembaknya Vakulenchuk saat peperangan sedang memuncak. Selanjutnya perasaan geli bercampur ironi mengusik pikiran saya ketika mayat Vakulenchuk dibaringkan di dermaga pelabuhan Odessa, Ukraina. Di atas tubuh Vakulenchuk mereka menuliskan kalimat: ‘dibunuh karena sepiring sup’. Kemudian penonton diajak untuk sedikit merasa lega ketika rakyat Rusia berbondong-bondong memberikan bantuan bahan makanan untuk pelayaran kapal Potemkin selanjutnya.

Sedangkan bagian paling kolosal dan tragis dimulai ketika pasukan Cossack, unit militer yang dibentuk istana untuk melindungi Dinasti Romanov memporak-porandakan rakyat yang menyerukan mogok massal atas kebengisan penguasa hingga menewaskan Vakulenchuk. Seketika itu juga hujan peluru membuat Tangga Odessa berubah menjadi ladang pembantaian.

Dari segi pengambilan gambar, film ini menyajikan sudut-sudut gambar yang revolusioner pada zaman itu. Tidak seperti sineteron Indonesia yang membatasi ruang gerak aktornya, film ini berusaha melihat peristiwa dari berbagai sisi. Adegan pertarungan di kapal Potemkin ketika para pelaut naik di atas tiang kapal, jatuhnya Vakulenchuk ke laut atau adegan orang-orang yang berjalan di atas jembatan yang disorot dari udara memberikan nuansa tayangan yang menakjubkan untuk menggambarkan konsep drama secara nyata. Film ini dapat pula disebut sebagai peletak dasar dalam bahasa gambar.

Ending cerita ini mengisahkan penolakan empat kapal perang Rusia yang saat itu berpatroli di Laut Hitam untuk menghancurkan kapal Potemkin. Sedangkan pusat komando tertinggi militer Rusia mengeluarkan perintah memaksa pelaut Potemkin menyerahkan diri, atau kapal terancam ditenggelamkan. Lagi-lagi sebuah kebimbangan ditawarkan.

Film terbaik kedua sepanjang masa ini dapat dijadikan alternatif bagi kita untuk kembali menengok sejarah revolusi Rusia yang mendunia. Setidaknya film ini memberikan jembatan dalam membangun gambaran tentang rumitnya pergolakan meraih keadilan dan wajah eksploitasi tenaga rakyat untuk memenuhi ambisi-ambisi Dinasti Romanov di Moskow. Audiens yang dapat diraih dalam film ini sangatlah luas, terlebih isu peperangan dan arogansi penguasa yang menerlantarkan rakyat menjadi perhatian khusus pada masa itu.

Rabu, 20 Oktober 2010

Wajah Jurnalisme Indonesia

Orde Baru menjadi masa suram bagi kebebasan pers di Indonesia. Kemudian reformasi dianggap sebagai dewa penyelamat atas keterpurukan dunia jurnalisme sekaligus menjadi batu loncatan menuju arus informasi tanpa batas. Namun, era reformasi yang datangnya tiba-tiba tersebut sepertinya hanya dimanfaatkan sebagai pelampiasan keterkungkungan semata. Inssan media belum menyiapkan secara kultural maupun fajar baru kebebasan informasi.

Tak hanya dari lingkungan eksternal yang menjadi tantangan jurnalisme saat ini. Usaha mempertahankan idealisme fungsi pers dan memperbaiki kinerja pegiat jurnalistik menjadi menjadi PR bersama yang lebih serius. Dengan demikian perwujudan jurnalisme kita benar-benar mampu melayani kepentingan publik sekaligus sebagai anjing penjaga terhadap potensi penyalahgunaan wewenang dan kuasa oleh pemerintah.

Jurnalisme mulut yang mendominasi

Kebiasaan lama wartawan yang mengandalkan peliputan opinion news atau talking news sampai saat ini belum bisa ditinggalkan. Kejadian seperti ini akan mengarah pada juranlisme yang subjektif dan relatif. Situasi kesenjangan antara wacana yang diproduksi dan realitas empirik faktual (hiper-rality) yang terjadi akan rawan terjadi. Pada akhirnya fakta yang berkembang dari bawah kurang tertransformasikan dalam muatan media. Dengan demikian media dianggap belum siap memerankan agenda setting untuk merumuskan hal-hal yang dianggap penting oleh masyarakat sehingga bisa dijadikan masukan dalam formulasi kebijakan.

Wartawan kita cenderung malas untuk menggali informasi sedalam-dalamnya. Terlebih dengan hadirnya kecanggihan teknologi yang semakin mempermudah informasi. Proses pencarian berita yang membutuhkan wawancara pun terkadang hanya dilakukan via telepon atau media lainnya. Kesungguhan wartawan Indonesia untuk memberikan data yang akurat dan berimbang kepada publik masih dipengaruhi oleh nominal finansial yang diberikan daripada atas nama sebuah dedikasi.

Pada kasus perseteruan Indonesia dengan Malaysia belum lama ini sebagai contohnya. Sebagian besar jenis jurnalisme berdasarkan teknik pengumpulan data yang dilakukan wartawan hanya sebatas menyuguhkan testimoni dari para tokoh semata. Apabila kita melihat isi berita tentang kondisi Malaysia dan Indonesia di televisi, maka pilihan berita yang ditawarkan lebih banyak dengan konsep debat publik. Dari perdebatan itu pun tidak dihadirkan secara gamblang tentang solusi yang ditawarkan. Semuanya sebatas pada wacana publik tanpa disertai usaha untuk mengurai permasalahan yang ada.


Jurnalism of attachment yang tak pada tempatnya
Jurnalism of attachment merupakan suatu konsep jurnalisme yang di dalamnya melibatkan unsur emosi manusia. Hingga saat ini terdapat banyak kritik akan konsep penayangan berita yang dianggap tidak beretika. Alih-alih bertujuan untuk memberikan gambaran realita yang ada, justru menimbulkan efek negatif bagi sisi psikologi masyarakat.

Pada peristiwa pengevakuasi korban kecelakaan kereta api, seorang kameramen menangkap gambar seorang mayat yang dijatuhkan dari atas kereta karena dimungkinkan pengevakuasi telah merasa lelah. Sebagai media yang beradap, seharusnya gambar tersebut tidak ditayangkan. Justru bukan rasa simpati yang ditimbulkan, namun hardikan atas sikap tak bermoral tersebut.

Kebebasan informasi oleh media saat ini justru mengarahkan perhatian pada peliputan ”perbedaan” dan ”konflik” justru mengalami perbesaran dalam banyak aspek (blow up). Contoh lain pada kasus terorisme yang banyak menyita perhatian masyarakat. Di satu sisi masyarakat anti terhadap terorisme, namun di sisi lain justru terdapat prasangka negatif terhadap kaum muslim yang secara tidak langsung selalu dikaitkan degan aksi pengeboman yang ada.

Media di Indoensia menurut saya saat ini banyak berjenis journalism of attachment. Pada satu sisi, jenis jurnalismne ini membawa dampak positif, namun di sisi yang lain dapat menumbuhkan prasangka atau efek negatif terhadap psikologis seseorang. Meskipun menimbulkan efek jera pada suatu peristiwa merupakan tujuan dari jenis journalism of attachment, namun terkadang efek yang ditimbulkan tidak sesuai atau justru berkebalikan dengan tujuan awal pemberitaannya.



Daftar Pustaka:
Panuju, Redi. 2002. Relasi Kuasa Negara Media Massa dan Publik (Pertarungan Memenangkan Opini Publik dan Peran dalam Transformasi Sosial). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Manifestasi Pertarungan Ideologi dalam "Ladri Di Biciclette"

Perang selalu menyisakan kepedihan. Kejayaan ideologi kelompok yang berkuasa menginduksi dalam hampir setiap lini kehidupan. Bahkan genre dunia perfilman pun dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut pihak pemenang perang.
”Ladri di Biciclette” atau lebih dikenal dengan judul ”The Bicycle Thieves” merupakan sebuah film yang muncul sebagai gerakan tentang neorealisme. Jika Amerika datang dengan sifat hiburannya yang banyak bercerita tentang masyarakat modern dan menonjolkan pernak-pernik kehidupan yang serba ’wah’, maka sebagai tandingannya film neorealisme ini muncul dengan mengangkat permasalahan di kalangan orang-orang miskin dan menegah sebagai karakteristiknya.

Disutradarai oleh Vittorio De Sica, film ini berusaha memberikan sebuah cerita yang alami dan dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Kekuatan lain yang terkandung dalam film Italia ini adalah upaya mengusung kejujuran akan dinamika sebuah kehidupan. Inilah yang menjadi pembeda! Film ini tidak neko-neko atau sok pragmatis seperti yang sering kita jumpai pada kebanyakan perfilman Indonesia sendiri. Hal yang saya sukai adalah film ini berusaha tampil apa apadanya dalam menceritakan realita sosial yang terjadi. Tak ada dramatisasi yang menurut saya cenderung mengarah pada pemuasan kesenangan sementara dibanding memberikan refleksi akan pesan yang ingin disampaikan melaui alur cerita yang disuguhkan.

Film yang dirilis pada 1948 ini bercerita tentang kisah pencarian sepeda kumbang milik seorang pekerja miskin penempel poster bernama Antonio Ricci (Lamberto Maggiorani). Sepeda Ricci dicuri seorang pemuda bertopi jerman di hari pertamanya bekerja. Padahal untuk mendapatkan sepeda itu, Maria Ricci (Lianella Carell), istrinya telah merelakan kasur tempat mereka tidur untuk dijual. Bayangan kembali menjadi pengangguran di tengah krisis ekonomi Italia pasca Perang Dunia II senantiasa menghantui pikiran Ricci. Tanpa sepedanya, Ricci tak dapat menafkahi istri dan kedua anaknya. Dari sepedanya, Ricci menggantungkan sejumput asa untuk memperbaiki ekonomi keluarga.

Bersusah payah Ricci berusaha menemukan sepedanya kembali. Ricci melaporkan perkara pencurian sepedanya kepada polisi. Namun pengaduan sepele Ricci nampaknya tak terlalu digubris para penegak hukum tersebut. Hal ini mengingatkan saya pada sistem pengabdian polisi di Indonesia. Tak jauh berbeda, sepertinya keseriusan dalam proses penyidikan hanya untuk menangani masalah-masalah besar dan fenomenal semata. Bahkan status sosial turut menjadi variabel penting dalam usaha justifikasi perkara.

Kali ini dengan dibantu teman-temannya Ricci melakukan pencarian di tempat-tempat penjualan sepeda di sepanjang jalanan Roma. Namun jerih payah itu masih tak membuahkan hasil. Akhirnya bersama anak pertamanya, Bruno (Enzo Staiola), Ricci melanjutkan pencariannya. Dari sini mulai terlihat sisi keegoisan Ricci yang hanya terfokus pada sepedanya semata. Bruno sering tercampakkan oleh ambisi ayahnya itu. Meskipun sebelumnya sempat kecewa dengan sikap Ricci, Bruno berusaha memahami keadaan yang menimpa ayahnya itu. Penjiwaan Enzo Staiola mampu memberikan karakter tersendiri pada sosok pria kecil energik dan polos bernama Bruno itu. Tingkah polahnya membuat cerita yang disajikan semakin hidup dan sangat disayangkan apabila tak menyimaknya.

Di bagian lain cerita ini, Ricci dipertemukan dengan pemuda yang mencuri sepedanya. Dengan semangat menggebu Ricci mengejar pria tersebut dan terus menuntut agar sepedanya dikembalikan. Namun si pemuda mengelak telah mengambil sepeda Ricci. Parahnya, perlakuan Ricci ini telah membuat epilepsi si pemuda kumat. Kontan peristiwa ini menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Keributan pun terjadi. Hingga akhirnya polisi datang untuk menyelesaikan pertikaian tersebut. Namun, karena tidak mempunyai bukti dan saksi yang kuat atas tuduhan yang diberikan, Ricci pun akhirnya disuruh meninggalkan tempat tersebut sebelum warga naik pitam.

Cerita ini berakhir dengan tergodanya hati Ricci untuk bertolak peran menjadi seorang pencuri sepeda. Setelah sempat dilanda kegundahan, akhirnya Ricci nekat mencuri sebuah sepeda yang tersandar di dekat pintu masuk sebuah gedung besar di tepi jalanan yang lengang. Namun aksi pencurian amatir itu berakhir dengan kepahitan. Bruno menyaksikan ayahnya tak berdaya dikeroyok massa yang marah atas perbuatan Ricci. Ia menangisi semua yang terjadi pada ayahnya. Dengan mata sembab ia memandangi wajah ayahnya tersebut. Beruntung sang pemilik sepeda membebaskan Ricci. Dengan gontai dan suasana hati yang bercampur aduk mereka berjalan di tengah keramaian jalan raya. Walau membisu, pikiran mereka terus mengembara, mencoba mengais makna yang sempat terlupa.

Ending cerita ini mengajak kita untuk merenungkan kembali bagaimana kisah ini dibangun dalam rangkaian pengalaman yang dialami sang aktor. Bagaimanapun juga unsur manusiawi itu akan tetap ada dan tak dapat dimanipulasi dengan sosok superhero manapun. Karena ini semua bercerita tentang manusia dan sederet permasalahan yang mengiringinya. Bukan tentang Tuhan ataupun Dewa.

Dunia toh tidak buta. Film sederhana ”The Bicycle Thieves" ini berhasil menyabet piala Oscar untuk kategori Best Foreign Language Film tahun 1949. AFI (American Film Institute) mengatagorikan film ini dalam daftar 100 film berbahasa asing (non-Inggris) terbaik sepanjang masa. Bahkan para sutradara kelas internasional seperti Ken Loach, Joel Schumacher dan Stanley Kubrick menganggap bahwa inilah film terbaik yang pernah ada.


Sumber inspirasi:
http://klubkajianfilmikj.wordpress.com/2009/04/30/neorealisme-menurut-andre-bazin/
http://resensi-resensi-film.blogspot.com/2010/06/ladri-di-biciclette.html

Selasa, 05 Oktober 2010

“Alangkah Lucunya Negeri Ini”: Potret Keprihatinan Akan Indonesia”

Berbicara kondisi negeri ini memang tak pernah putus dari jeratan berbagai masalah sosial yang melegenda. Mulai dari tingginya kesenjangan ekonomi, kriminalitas yang merajalela, pendidikan yang tak merata, hingga kebobrokan moralitas para wakil rakyat menjadi potret buramnya sistem kenegaraan kita. Sebuah film yang ditulis oleh Musfar Yasin, ”Alangkah Lucunya Negeri Ini” mencoba membingkai kesemrawutan bagsa dalam cerita perjalanan komplotan pencopet yang dididik untuk mencari penghasilan halal oleh seorang sarjana pengangguran. Bak oase di tengah gersangnya dunia perfilman Indonesia yang dijejali dengan cerita cinta tak berkualitas, film yang dirilis April 2010 ini mencoba memberikan sentilan akan berbagai keresahan sosial yang tak kunjung henti.
Film ini diawali dengan cerita perjalanan seorang Sarjana Manajemen bernama Muluk (Reza Rahadian) yang tengah berjuang mencari pekerjaan. Di tengah usahanya untuk mendapatkan penghasilan tetap ia memergoki aksi komplotan pencopet cilik sedang beraksi di tengah keramaian pasar. Dari sinilah Muluk mulai kenal dengan Komet, ketua pencopet pasar yang sempat ditangkap Muluk namun akhirnya dilepaskan. Peristiwa ini kemudian menghantarkan Muluk pada markas besar kawanan pencopet yang diketuai oleh Jarot (Tio Pakusadewo).
Gagagasan untuk menerapkan sistem manajemen dalam mengelola hasil pencopetan pun muncul. Setelah disetujui oleh ketua komplotan, Muluk pun melaksanan rencananya dengan memberikan pengarahan dan lambat laun memasukkan pembelajaran agama serta pancasila dalam menjalankan misinya. Tujuan Muluk hanya ingin mendidik mereka mencari penghasilan yang halal dengan berganti profesi menjadi pedagang asongan. Bagian yang diterima Muluk adalah 10% dari hasil mencopet.
Intrik kecil muncul ketika Haji Makbul (Deddy Mizwar), bapaknya Muluk menanyakan posisi pekerjaan yang tengah ditekuninya. Dengan sedikit canggung ia menjawab, ” Pengembangan Sumber Daya Manusia.” Selain itu Haji Sarbini (Jaja Miharja) juga mendesak Muluk untuk segera menikahi putrinya sebelum didahului calon anggota DPR bernama Jupri (Edwin ‘Bejo’).
Suatu ketika Haji Rahmat (Slamet Rahardjo Djarot) ingin sekali melihat kantor anaknya, Pipit (Tika Bravani) yang waktu itu telah menjadi guru agama di sekolah pencopetan itu. Syamsul (Asrul Dahlan), seorang Sarjana Pendidikan yang hobi bermain gaple di pos ronda juga turut merubah diri menjadi guru pancasila.
Klimaks terjadi ketika para orang tua, Haji Makbul, Haji Sarbini, Haji Rahmat mengetahui bahwa anak-anak mereka mendapatkan gaji dari uang hasil mencopet. Darah haram telah mengalir dalam diri mereka. Tak kuasa melihat kelakuan Pipit dan Muluk, Haji Rahmat dan Haji Makbul meminta ampun kepada Allah swt. di mushola dengan tangisnya yang tumpah. Melihat hal ini, Pipit dan Muluk pun akhirnya memutuskan untuk berhenti dari profesi mereka.
Film ”Alangkah Lucunya Negeri Ini” mampu yang disutradarai oleh Deddy Mizwar ini dikemas secara apik namun tetap syarat nilai. Aria Kusumadewa sebagai pendamping sutradara yang dekat dengan topik anak jalanan berhasil memberikan sentuhan alami dalam akting para pencopet cilik yang memukau. Film yang berdurasi 105 menit ini begitu mengalir tanpa kekakuan. Ada kelucuan, pesan moral dan keprihatinan yang berbaur mempesona dalam narasi yang disuguhkan. Setting yang dipilih pun mampu menggambarkan realitas sosial yang ingin disampaikan.
Dialog cerdas berderai dari obrolan para tokohnya. Pernyataan apakah pendidikan penting atau tidak penting mewarnai alur cerita. Ocehan para bocah tentang cita-cita menjadi koruptor memberi refleksi akan sikap pemimpin yang harus dikritisi. Sindiran orang-orang di sekitar Muluk akan fenomena para sarjana yang menganggur turut memberikan detail kompleksnya permasalahan bangsa ini.
Di akhir cerita ada sebuah pernyataan yang menarik perhatian saya: “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”, bunyi pasal 34 UUD 1945. Bagaimana mungkin para pedagang asongan turut menjadi bulan-bulanan petugas Satpol PP yang notabene mengatasnamakan Pemerintah dalam usaha menertibkan lalu lintas. Lalu, di mana implementasi pasal 34 di atas? Bagaimana bentuk kepedulian Pemerintah dalam memelihara mereka? Sedangkan bertriliun rupiah dengan gampangnya mengalir kepada korporasi asing yang terus mengeruk keuntungan dari bangsa ini.
Nampaknya pendidikan memang tak memberikan dampak penting dalam memperbaiki moralitas para pemimpin negeri ini. Bahkan pendidikan yang diangungkan tak mampu menjawab permasalahan sosial yang telah meradang dalam kehidupan bernegara. Jadi tidaklah mengherankan apabila masyarakat menganggap bahwa pendidikan tidak penting. Orang-ornag yang berpendidikan pun banyak yang pada akhirnya mengatakan hal ini. ”Pendidikan Tidak Penting!” Benarkah?
Film ini berakhir dengan sebuah kegamangan. Deddy Mizwar seolah tak ingin menyuguhkan kebohongan dalam mengurai fenomena sosial yang ada. Penonton dibiarkan ’meraba’ sendiri bagaimana nasib para pencopet yang mulai berganti profesi sebagai pedagang asongan. Toh memang tak mudah memberikan gerakan perubahan dalam keadaan dilematis.
Secara keseluruhan, film ini hampir bisa saya katakan sempurna. Hanya saja saya sedikit terganggu dengan berbagai iklan yang sering disuguhkan dalam beberapa adegan. Namun, hal itu pun saya anggap sebagai sebuah kewajaran. Seperti pendapat dari Antara News, saya pun setuju bahwa tanpa dukungan dana, film seperti ”Alangkah Lucunya Negeri Ini” hanya akan menjadi wacana yang habis dalam diskusi dan proposal.
Bagi saya sebuah film yang baik adalah film yang akan membuat kita berfikir kembali akan isi pesan yang terangkai delam balutan cerita yang menarik. Tak hanya sebatas memberi hiburan lalu tak meninggalkan bekas sama sekali bagi perbaikan diri kita dan lingkungan. Setidaknya film ”Alangkah Lucunya Negeri Ini” sudah berusaha untuk menyuarakan keprihatinan masyarakat. Walau entah bagaimana selanjutnya film ini diapresiasi dan apakah ada sedikit perubahan yang terjadi pada pemerintah dan nasib rakyatnya.


Referensi:
http://www.kapanlagi.com/showbiz/film/alangkah-lucunya-negeri-ini-bantah-kritik-pemerintah.html
http://www.antaranews.com/berita/1272800278/alangkah-lucunya-adalah-negeri-ini