Minggu, 25 April 2010

Sejarah Perkembangan Budaya Oral Hingga Tulisan di Indonesia

Berbicara tentang sejarah budaya oral hingga tulisan secara keseluruhan, tidak dapat dipisahkan dari sejarah manusia itu sendiri sebagai pihak yang menjadi aktor dalam kegiatan komunikasi tersebut. Pada dasarnya komunikasi sudah berlangsung sejak manusia itu didiciptakan di dunia. Komunikasi pun sudah terjadi sejak zaman manusia purba meskipun cara yang digunakan masih sederhana dan belum menggunakan tulisan seperti saat ini.

Awal Kehadiran Manusia di Indonesia
Menurut catatan para ilmuwan, sejarah alam semesta jauh lebih panjang jika dibandingkan dengan sejarah manusia. Manusia baru muncul di permukaan bumi bersamaan dengan terjadinya berkali-kali pengesan (glasiasi) dalam zaman yang disebut Plestosen. Masa ini beberapa kali diselingi oleh masa-masa antarglasial, yaitu waktu suhu bumi naik kembali dan menyebabkan es mencair serta gletser-gletser menarik diri kearah tempatnya semuala. Peristiwa-peristiwa alam yang terjadi kala itu mengakibatkan manusia lambat laun mengalami evolusi fisik dan akalnya.
Pada zaman es, daerah Indonesia terdiri atas dataran Sunda di sebelah barat yang bersatu dengan Asia Tenggara dan dataran Sahul di sebelah timur yang bersatu dengan Australia. Hubungan darat Indonesia dan benua Asia dapat terjadi melalui Kalimantan atau Sulawesi, Filipina, Taiwan dan Cina Selatan. Sedangkan hubungan dengan Australia dapat terjadi melalui Irian atau Nusa Tenggara. Dari sini dimungkinkan terjadi migrasi (perpindahan penduduk) manusia purba pada masa itu sebelum waktu glasiasi surut sehingga permukaan laut menjadi lebih tinggi dan menyebabkan dua dataran yang ada kembali menjadi kepulauan atau paparan.
Dataran Sunda diperkirakan lebih lama didiami manusia daripada dataran Sahul. Dataran Sahul selama ini diketahui baru dihuni oleh manusia pada tingkat Homo Sapiens yang diperkirakana hidup 40.000 tahun yang lalu. Meskipun di Sulawesi dan Nusa tenggara ada dugaan pernah hidup Pithecantropus dari peralatan batu yang ditemukan. Fosil manusia jenis Homo di Indonesia ditemukan di Wajak, Jawa Timur. Homo memiliki cirri lebih maju daripada Pithecanthropus. Pithecanthropus sendiri hidup pada Plestosen awal, tengah dan kemungkinan juga di Plestosen akhir. Temuan pertama di Indonesia yang diumumkan yaitu tengkorak Pithecanthropus erectus tahun 1890 di dekat Desa Trinil, tepi Bengawan Solo, Jawa Timur.

Kebudayaan Manusia Purba dan Komunikasi yang digunakan
• Masa Plestosen
Bukti- bukti hasil budaya pertama yang ditemukan di Indonesia berupa alat-alat batu jenis serpih bilah dan kapak-kapak perimbas serta beberapa bulan dari tulang dan tanduk. Hal ini menunjukkan corak budaya berburu dan meramu. Komunikasi yang terjadi masih sebatas pada budaya oral. Hal ini berbeda dengan perkembangan di Eropa yang pada akhir Plestosen tampak adanya peningkatan kegiatan spiritual, seni lukis dan pembuatan alat-alat dengan bentuk yang rumit.

• Pasca Plestosen
Di Indonesia beberapa alat dengan bentuk rumit mulai dibuat pada mas ini. Kehidupan di gua-gua merupakan hal yang menonjol dilakukan manusia purba Indonesia. Dari sinilah kemudian terjadi perkembangan dari yang semula hanya menggunakan komunikasi oral menuju komunikasi melalui lambang atau media tertentu. Penguburan dan lukisan-lukisan (gambar tangan, binatang, lambang-lambang) ditemukan di gua-gua sebagai corak kepercayaan di kalangan masyarakat perburuan. Pada tahap selanjutnya manusia pun semakin mengalami perkembangan pada pola hidupnya. Dengan hidup menetap, dibentuklah masyarakat yang teratur dan seluruh kegiatan dimanfaatkan untuk menemukan hal-hal baru yang bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya.

Pengembangan Tradisi Sejarah dalam Mayarakat yang Belum Mengenal Tulisan
Cara yang digunakan masyarakat yang belum mengenal tulisan untuk mengembangkan tradisi sejarah mereka adalah dengan mewariskannya secara lisan melelui ingatan kolektif anggota masyarakatnya. Sedangkan cara lain yang digunakan adalah dalam bentuk dibuatnya sebuah karya seperti lukisan, monumen, tugu dan perlatan hidup. Kegiatan tersebut merupakan bagian dari pengembangan tradisi sejarah untuk diwariskan kepada generasi berikutnya yang melihat karya itu
Dalam masa komunikasi oral, media yang digunakan untuk mencapai sebuah tujuan ritual misalnya seni pertunjukan, berupa tari, musik lakon, sastra, mantra dan sesajian. Sebagi pendukung digunakan pula berbagai peralatan seperti nekara, kapak sepatu dan patung-patung. Dalam peralatan yang digunakan pun terdapat gambar-gambar yang disesuaikan dengan tujuan pemakainnya. Misalnya untuk acara keagamaan, gambar pada nekaranya bersifat sakral dan berbeda dengan dengan gambar untuk peralatan sehari-hari.
Bahasa yang dituturkan penduduk nusantara sendiri sangatlah beragam. Kelisanan merupakan ruang bertutur dari anggota masyarakat yang merawat hidup bermakna sebelum keberaksaan dituliskan dalam simbol alfabetisasi. Sejarah lisan dimaksudkan memberi kebenaran sejarah seperti yang dituturkan oleh para pelakunya atau oleh pihak-pihak yang (merasa) mempunyai pengalaman sejarah yang bersangkutan sebagai pelaku atau saksi mata sebuah peristiwa.

Jejak Sejarah dalam Foklore
Folklore di artikan sebagai sekelompok orang atau komunitas yang memiliki cirri-ciri pengenal fisik (bahasa, rambut, warna kulit), sosial dan budaya sehingga dapat dibedakan dari kelompok masyarakat lainnya. Cirri-ciri folklore antara lain: penyebaran dan pewarisannya lebih banyak secara lisan, bersifat tradisional, bersifat anonym (pembuatannya tidak diketahui), kolektif (menjadi milik bersama dari sebuah kelompok masyarakat ), mempunyai pesan moral bagi generasi berikutnya.
Menurut Harold Brunvan (USA), folklore terbagi kedalam tiga tipe, yaitu:
1. folklore lisan (fakta mental), diantaranya mencakup: logat bahyasa (dialek) dan bahasa tabu , ungkapan tradisional dalam bentuk pribahasa dan sindiran , puisi rakyat yang meliputi mitos legenda , dongeng .
2. folklore sebagai lisan (fakta social), diantaranya dalam bentuk kepercayaan dan takhayul , permainan rakyat , tarian rakyat, teater rakyat, dan upacara tradisional.
3. folklore bukan lisan (artefak), diantaranya dalam bentuk: arsitektur bangunan rumah adat (tradisional), seni kerajinan tradisional , pakaian tradisional , obat-obatan tradisional, alat musik tradisional, senjata tradisional, makanan tradisional.

Asal Usul Bahasa Indonesia
Sejarah bahasa melayu mulai dikenal pada tahun 680 M. Bahasa Melayu yang menjadi dasar bahasa Indonesia dikenal sebagai bahasaMelayu-Johor. Nama Melayu pertama kali dikenal sebagai nama kerajaan di Indonesia. Pada pertengahan abad ke-7, Melayu dinaungi oleh Sriwijaya, yang ibu kotanya diduga berada di Palembang. Dari surat-surat peninggalan diketahui bahasa Kerajaan Sriwijaya adalah bahasa Melayu Tua dan disebarkan ke seluruh daerah jajahannya (Hastuti, 1986: 1-2)
Pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa resmi mula-mula dilakukan oleh Kompeni, kemudian oleh Gubernur Hindi Belanda. Bahasa ini digunakan baik dalam surat-menyurat maupun dalam komunikasi dengan kepala-kepala rakyat di seluruh nusantara. Setelah itu, bahasa Melayu pun mulai semakin berkembang di seluruh nusantara.
Cita-cita kesatuan nasional mulai berkumandang pada bulan Mei 1918, dengan berdirinya Dewan Rakyat. Lembaga ini mempunyai tujuan untuk membentuk bahasa nasional. Pengakuan dan pengangkatan bahasa Melayu diikuti dengan terbitnya surat-surat kabar yang dipimpin oleh para wartawan Indonesia.
Tanggal 28 Oktober 1928 konggres pemuda di Jakarta telah mencetuskan Sumpah Pemuda yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar bagi seluruh masyarakat nusantara.

Penggunaan Aksara di Indonesia
Penelitian menunjukkan bahwa sebuah naskah kuno yang dapat menghubungkan antara tradisi lisan dengan tradisi tulisan di Indonesia adalah tentang asal-usul abjad Jawa yang lebih dikenal dengan Legenda Aji Saka. Beberapa ahli memiliki kesimpulan yang hampir sama, bahwa legenda Aji Saka
ini memiliki hubungan dengan penggunaan kalender Saka yang digunakan di Jawa sebelum kalender Islam. Kalender Jawa diperkenalkan oleh Sultan Agung pada tahun 1633 M.
Prasasti tertua yang ditemukan di Nusantara berasal dari abad ke -5 masehi dari kerajaan Kutai dan Tarumanegara. Namun, keduanya masih menggunakan bahasa sansakerta dan huruf Pallawa. Dari sinilah kemudian zaman prasejarah di Indoneseia barakhir. Cacatan penggunaan dan perkembangan aksara di Indonesia menunjukkan bahwa pemakaian aksara Pallawa telah dimulai sejak abad VII hingga akhir abad VIII. Setelah itu di Indonesia dipakai huruf Jawa sampai abad XV, yaitu sampai zaman klasik Hindu-Budha.
Aksara di Nusantara dapat diklasifikasikan menjadi tiga periode, yaitu: periode klasik, periode Islam, dan periode kolonial. Periode klasik Hindu-Buddha yang dijumpai di Nusantara adalah aksara Pallawa, pasca Pallawa dan aksara Kawi. Periode Islam memakai aksara Arab, aksara Arab Melayu, aksara Pegon dan aksara Serang. Sedangkan pada periode kolonial memakai aksara Gotik, aksara Latin dan dalam perkembangannya menjadi aksara nasional di Indonesia.
Para peneliti sebelumnya, baik ahli epigrafi maupun arkeologi telah mencermati bahwa perubahan aksara dari waktu ke waktu beradaptasi sesuai dengan kebutuhannya. Dalam pengertian bahwa keberadaan aksara itu akan menyerap warna budaya lokal di mana aksara itu digunakan oleh pendukung kebudayaan aksara itu sendiri. Perubahan aksara tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Aksara Pallawa awal, dipakai sebelum abad VII M, misalnya prasasti Tugu Bogor.
b. Aksara Pallawa tahap akhir, dipakai pada abad VII sampai pertengahan abad VIII M, misalnya prasasti di Canggal, Kedu dan Magelang.
c. Aksara Kawi atau Jawa Kuna tahap awal dipakai pada tahun 750 M -725 M, misalnya prasasti Balengan di Kalasan Yogyakarta.
d. Aksara.Kawi atau Jawa Kuna tahap akhir dipakai tahun 925 M-1250 M, misalnya prasasti Airlangga.
e. Aksara Majapahait dan aksara daerah/lokal dipakai pada tahun 1250 - 1450 M, misalnya prasasti Singasari dan lontar Kunjarakarna.
f. Aksara Jawa Baru, dipakai pada tahun 1500 sampai sekarang, misalnya pada kitab Sulah Bonang dan kitab yang lebih muda Selain itu, hal penting perlu dikemukakan di sini adalah aksara Pallawa menggunakan bahasa Sansekerta, seperti yang digunakan dalam pasasti Canggal (Sleman), Jawa Tengah (732 M). Perkembangan aksara Kawi dalam budaya Jawa sangatt erat kaitannya dengan kerajaan Hindu-Budha di Jawa Tengah dan Jawa Timur, terutama abad VII dan VIII M. Periode Singasari dan Majapahit bahasa Jawa Kuna dapat dilihat dalam teks-teks kakawin, seperti kakawin Pujastawa.

Kondisi budaya oral dan tulisan Indonesia Saat ini
• Bahasa
Pada dasarnya bahasa daerah sampai saat ini masih digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam kalangan yang informal. Meskipun pada awal abad ke-20 dengan penuh kesadaran bahasa Melayu kemudian dijadikan sebagai bahasa persatuan atau bahasa nasional. Dalam perkembangan selanjutnya bahasa Indonesia menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi para penutur dan pemiliknya (Hastuti,1986:1).
Namun, di beberapa wilayah di Indonesia sampai saat ini pun masih banyak yang menjunjung tinggi budaya oral dan budaya tulisan belum menjamah kemurnian komunitas mereka. Aturan-aturan yang dipakai dalam komunitas berdasarkan pada adat kebiasaan, kosmologi dan tak tertulis.
Dalam era globalisasi seperti saat ini minat untuk mempelajari dan menguasai bahasa asing dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Sebaliknya peminat bahasa Indonesia sendiri tergolong sangat sedikit.

• Tulisan
Selain huruf alphabet digunakan oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia, saat ini banyak dipelajari pula huruf-hurf asing seperti huruf Jepang, Cina, atau Korea.Antusiasme mempelajari huruf asing tersebut lebih banyak terjadi pada kalangan akademisi dan remaja. Sedangkan kajian untuk huruf-huruf nusantara yang mengandung makna kompleks di dalamnya itu kini semakin surut peminatnya.
Budaya menulis saat ini sedang digalakkan kepada para pelajar dan kalangan sivitas akademika di Indonesia. Budaya menulis dianggap sebagai salah cara untuk dapat membagikan buah pikir seseorang bagi masyarakat luas. Dari sinilah kemudian diharapkan sistem pendidikan dan sektor penunjang kehidupan lainnya dapat lebih dikembangkan. Aturan dalam menulis pun ditetapkan untuk mengatur bagaimana cara menulis yang baik tanpa melanggar etika (dunia jurnalistik).

Daftar Pustaka

Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka umum.
Hastuti, Sri. 1986. Ringkasan sejarah Sastra Indonesia Modern. Klaten: PT Intan Pariwara.
Irawan, Ade didik. 2008. Tradisi sejarah dalam Masyarakat Indonesia. Terarsip dalam http://www.scribd.com/doc/4991797/KEHIDUPAN-AWAL-MASYARAKAT-DI-KEPUALAUAN-INDONESIA
Rosda, Tim Penulis. 1996. Prasejarah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Suastika, I Made. 2008. Bahasa dan Aksara sebagi Identitas Budaya. makalah yang disampaikan pada Kongres Kebudayaan Indonesia 2008, 10-12 Desember di Bogor.
Sumardjo, Jakob. 2002. Arkeologi Budaya Indonesia: Pelacakan Hermeneutika-Historis Terhadap Artefak-artefak Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Qalam.
http://www.sejarahsosial.org/2008/09/20/sejarah-lisan-di-indonesia-dan-kajian-subyektivitas/
http://www.wacananusantara/2/542/Tradisi%20Lisan,%20Tulisan%20id%20Lidah%20yang%20Kian%20Tak%20Didengar?mycustomessionname=6517c58c399e230f5560bb828fcfb3e9//

Minggu, 04 April 2010

Tuhan Menciptakan Air Mata Sebagai Berkah

Ngeng… Aku terus memacu laju sepeda motorku. Sementara pikiranku terus bertanya-tanya tentang sebuah pesan singkat yang baru saja kuterima dari salah seorang anggota keluargaku. Tak kupedulikan jarum-jarum tipis air hujan yang berusaha menembus kulit dan meyuntikkan hawa dingin ke seluruh tubuh. Hasratku hanya satu, segera sampai di rumah dan memastikan semuanya baik-baik saja.
Memasuki gang masuk ke kampungku, bendera putih di ujung jalan berkibar dengan lesunya. Oh Tuhan.. aku berharap berita duka itu bukan untukku. Namun.. kulihat para tetangga telah berkerumun di halaman rumahku. Segera kuparkir sepeda motorku dan aku pun berlari menuju ruang tamu. Untaian tasbih dan pengagungan asma Illahi telah menyelimuti sudut-sudut ruangan. Seseorang telah terbujur kaku berselimut kain kafan.
Perlahan kudekati tubuh tak bernyawa itu. Kubuka tabir kain kafan yang menutupi wajahnya. Aku pun melihat wajah pucat ibuku kini berada di depan mataku. Kutatap pesona penuh keagungan di dalamnya. Wanita perkasa yang tak pernah mengeluh dengan polah bengal anak-anaknya. Dengan penuh ta’zim ku kecup kening permata hatiku untuk terakhir kalinya. Kemudian kristal-kristal bening dari kedua mataku mulai jatuh satu per satu. Setelah itu kelopak mataku tak kan mampu untuk menahan genangan air mata yang telah membuncah dari sumbernya. Tangis haru pun meledak pada titik kulminasinya. Bibirku tak henti melafadzkan dzikir kepada Sang penguasa hidup. Sesekali terdengar istighfar pada tagisku yang sesenggukan.

----- sebuah cerita refleksi untuk kembali menyadari betapa banyaknya dosa-dosa kita pada ibunda tercinta. Hanya fiktif belaka.

Tentunya kita semua akan merasa sedih ketika kehilangan orang yang sangat kita sayangi. Bahkan baru sebatas membayangkannya saja, air mata akan jatuh berlinangan. Dalam sunyi, aku sering menitikkan air mata walau tak ada sebab pasti yang membuat aku harus bersedih. Terlebih ketika pikiran terasa penat dengan urusan duniawi dan sepertinya badan tak sanggup lagi menahan beban yang ada, maka aku akan membiarkan diriku larut dalam tangisan barang sejenak. Karena dengan menangis beban itu akan sedikit terkurangi. Kemudian sebuah semangat baru akan muncul layaknya raksasa yang menyeruak bangun dari tidurnya.
Aku akan banyak bermunajat kepadanya ketika kesedihan bertandang di hati. Berharap Tuhan selalu memberikan secercah kasihnya untukku dan dan untuk orang-orang yang kusayangi. Semoga Engkau senantiasa memberikan balasan yang lebih untuk orang-orang yang aku cintai dan mencitaiku ya Rabb. Semoga Engkau tidak mencabut nyawa kami sebelum aku memberikan balasan terbaik atas budi baik mereka. Semoga Engkau masih mengizinkan aku hidup bersama mereka lebih lama lagi. Semoga…

Sistem Pendidikan Gagasan Ki Hajar Dewantara

Kebanggaan suatu bangsa terhadap pahlawan-pahlawannya akan membangkitkan kesadaran bangsa itu terhadap harga diri dan martabat bangsanya yang luhur, yang telah mampu melahirkan manusia-manusia besar dan pahlawan-pahlawan besar.
(Ki Hajar Dewantara)

Masa penjajahan yang berlangsung selama lebih dari 350 tahun di negeri ini memberikan pengaruh yang cukup besar dalam pengambilan kebijakan dan penataan sistem pemerintahan Indonesia setelah merdeka. Tak dapat dihindari, Indonesia pun mengalami penetrasi dalam berbagai hal sepereti ekonomi, politik, sosial maupun budaya dari negara penjajah terebut.
Negara kita saat ini pun masih mengadopsi sistem pendidikan ala Barat. Padahal banyak pihak yang menilai sistem pendidikan tersebut bersifat sekuler dan matrealistik. Pendidikan kini dinilai sebagai sebuah formalitas yang tidak lagi menunjukkan esensi yang sesungguhnya dari proses pebelajaran itu sendiri dan lebih berorientasi pada pencapaian hasil yang dirasa dapat menunjang kebutuhan finansial peserta didik di masa depan.
Perlu kita ingat bersama bahwa para tokoh nasionalis Indonesia telah berusaha untuk membangkitkan semangat berpendidikan untuk menjadi negara yang bermartabat tanpa menghilangkan unsur-unsur budaya yang kita miliki. Justru dengan hal itulah keagungan bangsa ini terlihat dan permasalahan dalam negeri bisa terkendali.
Sebuah kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi rakyat Indonesia muncul sebagai bentuk perlawanan nonfisik atas penjajahan yang membelenggu Indonesia. Salah satu indikasi perkembangan ini ditandai dengan berdirinya sekolah keagamaan dan kebangsaan seperti Perguruan Nasional Taman Siswa atau Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa.

Taman Siswa dan Konsep Pemikiran Ki Hajar Dewantara
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau Ki Hajar Dewantara adalah tokoh peduli pendidikan yang dengan serius berupaya menumbuhkan kembali tradisi kejayaan masa lampau negeri ini. Bersama dengan perguruan Taman Siswa yang didirikannya pada tahun 1922, putra dari Pangeran Suryaningrat dan cucu dari K.G.P.A.A. Paku Alam III ini berupaya meletakkan dasar-dasar kebudayaan bangsa dan semangat kebangsaan di dalam gerakan pendidikan yang dilakukan di Jawa, Sumatra, Borneo, Sulawesi, Sunda Kecil, dan Maluku. Semua itu didedikasikan untuk memulihkan harkat dan martabat bangsa dan menghilangkan kebodohan, kekerdilan, dan feodalisme sebagai akibat nyata dari penjajahan.
Tamansiswa mengajarkan “Konsep Tringa” yang terdiri dari ngerti (mengetahui), ngrasa (memahami) dan nglakoni (melakukan). Maknanya ialah, tujuan belajar itu pada dasarnya ialah meningkatkan pengetahuan anak didik tentang apa yang dipelajarinya, mengasah rasa untuk meningkatkan pemahaman tentang apa yang diketahuinya, serta meningkatkan kemampuan untuk melaksanakan apa yang dipelajarinya.
Pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang Pendidikan:
1. Melihat pendidikan dari perspektif antropologis, yaitu bagaimana warga masyarakat meneruskan warisan budaya kepada generasi berikutnya dan mempertahankan tatanan sosial. Ki Hajar Dewantara memandang penting pewarisan budaya ini sebagai cara menyambung kembali peradaban bangsa yang pernah terdistorsi. Beliau juga memikirkan kemajuan budaya bangsa yang harus selalu tumbuh. Pendidikan merupakan proses akulturasi, dalam pengertian masyarakat tidak hanya menyerap warisan budaya tetapi juga memadukan berbagai unsur budaya tanpa menghancurkan unsur inti atau tema utama kebudayaan, dalam hal ini kebudayaan nasional (Cultureel Natio-nalism).
Ki Hadjar Dewantara mencipakan asas Tri-kon (kontinyu, konvergensi, dan konsentris), yang menyebutkan bahwa pertukaran kebudayaan dengan dunia luar harus dilakukan secara kontinyu dengan alam kebudayaannya sendiri, lalu konvergensi dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang ada dan akhirnya, jika sudah bersatu dalam alam universal, bersama-sama mewujudkan persatuan dunia dan manusia yang konsentris. Konsentris berarti bertitik pusat satu dengan alam-alam kebudayaan sedunia, tetapi masih tetap memiliki garis lingkaran sendiri-sendiri.
2. Pendidikan nasional harus berdasarkan pada garis hidup bangsanya dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan, yang dapat mengangkat derajat negeri dan rakyatnya, sehingga berkedudukan sama dan pantas bekerjasama dengan bangsa lain untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia. Pemikiran ini menunjukkan bahwa Ki Hajar Dewantara adalah seorang yang sangat menghargai pluralisme atau kemajemukan. Beliau juga seorang yang berpikiran futuristik dengan universalisasi yang memungkinkan jaringan global berbagai hubungan antarbangsa melintasi ruang dan waktu. Wawasan kemajemukan ini membuka peluang bagi berkembangnya sikap toleran, inklusivisme, dan non-sektarianisme yang merupakan wujud konkret dari Bhinneka Tunggal Ika.
3. Memberikan pengakuan akan pentingnya pendidikan budi pekerti. Beliau berpendapat bahwa pendidikan ala Barat yang hanya berorientasi pada segi intelektualisme, individualisme, dan materialisme tidak sepenuhnya sesuai dengan corak budaya dan kebutuhan bangsa Indonesia. Warisan nilai-nilai luhur budaya dan religiusitas bangsa Indonesia yang masih dijadikan pedoman hidup berkeluarga di masyarakat Indonesia harus dikembangkan dalam dunia pendidikan. Dalam konteks pemikiran Ki Hajar, pendidikan tidak cukup hanya membuat anak menjadi pintar atau unggul dalam aspek kognitifnya. Pendidikan harusnya mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki anak seperti daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif). Dengan demikian, pendidikan diharapkan mampu mengembangkan anak menjadi mandiri dan sekaligus memiliki rasa kepedulian terhadap orang lain, bangsa, dan kemanusiaan, sehingga anak menjadi seorang yang humanis dan lebih berbudaya.

Landasan Pendidikan Taman Siswa
Sebagai perguruan nasional, Taman Siswa mempunyai dasar-dasar sebagai berikut;
 Visi:
Membangun manusia yang beriman dan bertaqwa , merdeka lahir dan batin, berpengetahuan agar menjadi masyarakat yang berguna bagi Nusa dan Bangsa.
 Misi:
Menuju pada penguasaan :
• Prilaku iman dan taqwa (IMTAQ)
• Ilmu pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
• Penerangan Budi Pekerti (AKHLAK)
 Dasar Pendidikan:
Dasar pendidikannya mengalami perbaikan setelah Indonesia mencapai kemerdekaan. Dasar pendidikan ini kemudian disebut Panca Dharma Dasar-dasar 1947, yaitu sebagai berikut:
1. Asas kemerdekaan, yaitu hidup ini bebas merdeka mengikuti hak asal tidak melupakan kewajiban.
2. Asas kodrat alam, yaitu manusia akan merasa bahagia apabila dapat menyatukan diri dengan kodrat alam itu yang mengandung unsur kebaikan. Layaknya sebuah benih, ia akan tumbuh dan berusaha menyemaikan benih-benih baru untuk kelangsungan generasi berikutnya. Karena itu hendaklah tiap anak berkembang dengan sewajarnya.
3. Azas kebudayaan, yaitu usaha membawa kebudayaan bangsa menuju kemajuan, sejalan dengan pergantian zaman untuk kepentingan hidup rakyat seluruhnya. Kebudayaan ini selayaknya berkembang secara kontinyu, konvergen dan konsentris (Trikon)
4. Asas kebangsaan, yaitu memuat aspek persatuan serta tidak ada unsur permusuhan dengan bangsa lain.
5. Azas Kemanusiaan, menyatakan bahwa dharma tiap-tiap manusia itu adalah mewujudkan kemanusiaan, yang berarti kemajuan manusia itu lahir dan batin. Wujud kemanusiaan ini diimplikasikan dengan rasa cinta kasih terhadap sesama manusia dan makhluk Tuhan seluruhnya.
 Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan Taman Siswa pada awal pendiriannya, yaitu zaman penjajahan belanda adalah bersifat politik (kemerdekaan Indonesia). Sedangkan tujuan murni pendidikan yang diinginkan Taman Siswa seperti termuat dalam Peraturan Besar Taman Siswa bab IV pasal 13 adalah membangun anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir batin, luhur akal budinya, serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air serta manusia pada umumnya. Tujuan tertinggi Taman Siswa adalah terwujudnya masyrakat tertib dan damai.

Bagian-bagian Sekolah Taman Siswa
1. Taman Indriya (Taman Kanak-kanak) : umur 5-6 tahun
2. Taman Anak (kelas I-III) : umur 6-10 tahun
3. Taman Muda (kelas IV_VI) : umur 10-13 tahun
4. Taman Dewasa (SMP)
5. Taman Madya (SMA)
6. Taman Guru B I : calon duru SD
Taman Guru B II (satu tahun setelah Taman Guru B I)
Taman Guru B III (satu tahun setelah Taman Guru B II)
Taman Guru Indriaya (SMP + dua tahun)
7. Taman Masyarakat Taman Mani, Taman Rini (untuk wanita), Taman Karti (untuk pertukangan)
Bentuk Organisasi Pendidikan
1. Perguruan
2. Pondok-asrama

Isi Kurikulum Taman Siswa
 Isi Kurikulum atau rencana pelajaran bersifat kultural nasional. Tiap mata pelajaran diberikan sebagai bagian peradaban bangsa yang perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman. Pemuda tidak boleh dikekang oleh ikatan tradisi dan konvensi yang dapat menghambat kemajuan bangsa.
 Segala pelajaran harus mampu membangkitkan rasa cinta tanah air dan bangsa.
 Di samping pendidikan kecerdasan, dipentingkan juga penjagaan dan latihan kesusilaan serta pendidikan kebudayaan.
 Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa pengantar diwajibkan. Bahasa daerah yang penting diajarkan secukupnya dalam daerah masing-masing. Bahasa asing diberikan untuk keperluan melanjutkan pelajaran dan menambah perhubungan dengan luar negeri.

Metode Pembelajaran
Dalam proses belajar mengajarnya, Taman siswa menerapkan sistem sebagai berikut;
 Sistem Among
Dalam sistem among ini diterapkan prinsip kekeluargaan yang bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Maksud dari bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan adalah setiap anak dibiarkan tumbuh sewarnya dengan bekal potensi yang ia miliki tanpa paksaan. Kebebasan untuk menentukan pilihan hidup tetap diberikan dengan tetap memberikan tuntunan agar berkembang hidup lahir batin menurut kodratnya sendiri-sendiri (Ahmadi, 1987: 52).
Unsur intelektualitas harus dihilangkan karena hanya menekankan pada aspek kognitif saja sehingga tidak terjadi keseimbangan. Selain itu hal ini akan menambah rasa tertekan pada siswa karena akan memunculkan istilah baru antara anak pandai dan bodoh dengan dasar yang tidak relevan.
Konsekuensi dari sistem ini adalah setiap pendidik harus meluangkan waktu sebanyak 24 jam setiap harinya untuk memberikan pelayanan kepada anak didik sebagaimana orang tua yang memberikan pelayanan kepada anaknya. Untuk itulah mengapa peran guru juga diperhitungkan.

Perwujudan Sosok Guru yang Diharapkan
Perubahan nama dari R.M. Suwardi Suryaningrat menjadi Ki Hajar Dewantara saat beliau genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, bukannya tidak mempunyai maksud tertentu. Hal ini mengandung makna bahwa beliau menginginkan adanya perubahan sikap dalam melaksanakan pendidikan, yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria. Maksudnya adalah, perubahan dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria.
Seorang guru mempunyai tugas dalam mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru harus mampu menjadi model keteladanan yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian. Dari sinilah jiwa ksatria yang diharapkan akan muncul. Setelah itu tugas selanjutnya sebagai guru adalah menjadi fasilitator dalam menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa.
Paradigma lama yang sampai saat ini berkeyakinan bahwa ilmu itu diperoleh dengan jalan diajarkan oleh orang yang lebih pandai (guru) kepada murdid harus segera kita tinggalkan. Sedangkan guru yang efektif hendaknya memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator), dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik, anggota komunitas sekolah, dan pihak lain yang terkait. Sedangkan segi administrasi sebagai guru dan sikap profesionalitasnya secara fisik, intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator merupakan nilai positif lain yang diharapkan.

 Sistem Tri Pusat Pendidikan
Dalam usaha untuk mewujudkan cita-cita pendidikan, harus dilakukan kerjasama antara tiga pusat pendidikan yang ada yaitu perguruan atau lingkungan sekolah, keluarga dan lungkungan masyarakat.
Dengan sistem seperti ini diharapkan setiap pusat pendidikan dapat saling mengisi kekurangan dalam proses pembelajaran. Setiap pusat pendidikan hendaknya juga memberikan kontrol dan menciptan lingkungan yang kondusif demi terbangunnya sistem pendidikan yang harmonis.

Analisis sitem:
Dalam kajian ini, sistem pendidikan Taman Siswa gagasan Ki Hajar Dewantara merupakan sebuah subsistem dari sistem pendidikan pada umumnya. Sehingga sistem pendidikan itu sendiri dapat disebut sebagai supersitemnya.
Adapun sistem pendidikan Taman Siswa ini tersusun dari gabungan subsistem-subsistem yang melengkapinya, seperti sistem pengajaran, sistem pembagian sekolah, sistem kurikulum, sistem yang melandasi pendidikan, dll. Tentunya sistem pendidikan ini tak akan disebut sebagai sistem pendidikan Taman Siswa apabila salah satu subsistemnya tidak diterapkan sebagaimana mestinya. Atau bahkan bertentangan dengan apa yang telah diprakarsai oleh Ki Hajar Dewantara.

Kesimpulan
Sistem Pendidikan Taman Siswa yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara merupakan sebuah pola pendidikan yang berusaha menyambungkan kembali benang merah kejayaan Indonesia pada masa lampau sehingga harkat dan martabat bangsa kita kembali terangkat.
Perumusan sistem pembelajaran ini berusaha menekankan pada aspek keluhuran budaya dan keseimbangan manusia dalam daya cipta, rasa dan karsa. Kita diajarkan untuk tidak memaksakan kehendak dan membatasi pertumbuhan potensi anak yang diakui berbeda-beda setiap individunya. Hal ini sesuai dengan UU No. 2 Tahun 1989 tentang fungsi khas pendidikan nasional.
Perlu ditekankan kembali bahwa sesungguhnya tujuan pendidikan tidak akan terwujud secara optimal apabila tidak didukung oleh pusat pendidikan lain selain sekolah, yaitu keluarga dan masyarakat. Sedangkan pasal 16 UU No 2 tahun 1989 menunjukkan betapa pentingnya pendidikan sekolah itu dikaitkan dengan lingkungan sosial. Maka dari itu, kontrol dan sikap saling melengkapi adalah kunci dari sistem tri pusat pendidikan ini.
Kita sebagai generasi penerus bangsa diharapkan dapat belajar tentang sistem pembelajaran yang baik dan sesuai dengan nilai kebudayaan Indonesia. Sistem pendidikan yang ditawarkan Ki Hajar Dewantara semoga dapat menjadi referensi dalam memperbaiki sistem pendidikan saat ini yang mengacu pada praktik pembodohan siswa tersistematis. Sehingga daya kritis dan kualitas pendidikan yang dihasilkan kurang mampu bersaing dengan negara maju lainnya.
Semoga perubahan pada perbaikan sistem pendidikan negeri ini segera terealisasi sehingga mampu mencetak pribadi-pribadi yang unggul, baik dari segi itelektualitas dan kepribadian. Dengan demikian, kemajuan bangsa yang beridentitas bukanlah sekedar impian semata.










Daftar Puataka

Ahmadi, A. 1987. Pendidikan dari Masa ke Masa. Bandung: CV. Armico.
Mastuhu. 2004. Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21. Yogyakarta: Safiria Insania Press.
Surjomihardjo, Abdurrachman. 1986. Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Susilo, M. Joko. 2007. Pembodohan Siswa Tersistematis. Yogyakarta: Penerbit PINUS
Tauchid, Moch. 1967. Soeratman. Karya Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Madjelis- Luhur Persatuan Taman Siswa.
Tilaar, H.A.R. 2003. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Hadjar_Dewantara
http://suara-muhammadiyah.com/2009/?p=1039
http://222.124.164.132/web/detail.php?sid=165858&actmenu=39