Senin, 22 Maret 2010

Analisis Teori

Teori Kultivasi Dilihat dari Dimensi Konseptualisasi dan Pendefinisian

Teori Kultivasi pada dasarnya menyatakan bahwa para pecandu (penonton berat/ heavy viewers) televisi membangun keyakinan yang berlebihan bahwa dunia itu sangat menakutkan. Hal tersebut disebabkan keyakinan mereka bahwa apa yang mereka lihat di televisi yang banyak menyajikan acara kekerasan adalah apa yang mereka yakini terjadi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Teori ini dikemukakan oleh George Gerbner, mantan Dekan dari Fakultas (Sekolah Tinggi) Komunikasi Annenberg Universitas Pennsylvania. Teori ini dicetuskan berdasarkan penelitiannya terhadap perilaku penonton televisi yang dikaitkan dengan materi berbagai program televisi yang ada di Amerika Serikat.

Dilihat dari Dimensi dalam Konseptualisasi
Apabila dilihat dari prosesnya, teori kultivasi memandang informasi yang disampaikan telrvisi kepada penonton sebagai interkasi satu arah dan tidak ada umpan balik dari komunikan.Proses transaksi dianggap tidak ada karena penonton dianggap bersifat pasif.
Dilihat dari praktik simbolis, teori kultivasi memandang televisi sebagai simbol dari kebenaran persepsi tentang masyarakat dan budaya. Menurut teori ini televisi menjadi media utama untuk belajar tentang masyarakat dan kultur dilingkungannya. Melalui kontak televisi seseorang belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya serta adat kebiasannya.

Dilihat dari Dimensi Pendefinisian
Derajat observasi teori kultivasi sangatlah terbatas, karena hanya melihat kepada para pecandu berat televisi saja, yang menganggap semua informasi yang disampaikan telesivisi adalah benar. Padahal masih ada penonton yang bersifat kritis dalam memandang berita yang disuguhkan. Selain itu teori ini tidak mencakup acara televisi di seluruh penjuru dunia, karena sampel dari penelitiannya hanya diambil dari Amerika Serikat.
Teori kultivasi merupakan teori yang bertujuan karena terdapat situasi di mana sebuah sumber mentransmisikan sebuah pesan kepada penerima dengan tujuan unuk mempengaruhi perilaku si penerima.
Definisi teori kultivasi dianggap sebagai pertukaran verbal dari suatu pemikiran atau ide yang berangkat dari asumsi bahwa dalam suatu proses komunikasi pemikiran atau ide berhasil dipertukarkan sehingga mempengaruhi komunikan.

Daftar Pustaka

Littlejohn, Stephen W. 2002. Theories of Human Communication. Seventh Edition. Belmont, CA: Wadsworth.
Miller, Katherine. 2002. Communication Theories: Perspective, Process, and Context. Boston: McGraw Hill.
Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada.
Bahan kuliah jurusan Ilmu Komunikasi fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada kelas A dan B 2009/2010


Nb: terima kasih kepada berbagai sumber yang telah membantu memberikan pencerahan dalam memahami ilmu komunikasi dan berbagai kajian yang menunjang. Semoga kebaikan kalian semua dibalas-Nya dengan penghargaan yang lebih besar.

Sabtu, 06 Maret 2010

Penilaian terhadap kasus Ryan, Jombang

Kejahatan Media dalam Pemberitaan Kasus Ryan
Oleh : Eko Megawati
(09/288920/SP/23798)

Kasus pembunuhan yang dilakukan Very Idam Henyansyah alias Ryan, warga Jombang setahun yang lalu tentu masih segar dalam ingatan kita. Berbagai media massa, khususnya televisi berusaha menampilkan dimensi yang berbeda dalam memandang kasus ini untuk menarik minat masyarakat.
Namun, dari sekian faktor yang membuat kasus ini memikat perhatian publik, beberapa catatan lain muncul tentang bagaimana seharusnya publik dan khususnya media massa menempatkan kasus ini secara proporsional. Tak bisa dipungkiri, ada beberapa kecenderungan media yang justru menjurus pada viktimisasi terhadap Ryan sebagai pelaku.
Tulisan ini akan berusaha berbicara tentang sikap media yang kurang bijak dalam memberitakan kasus Ryan, stereotipe negatif yang secara tidak langsung dikaitkan dalam pemberitaan dan dampak apa yang mungkin ditimbulkan dari stereotipe negatif tersebut.

Perlombaan Media Membingkai Kasus Ryan
Ketika polisi masih berusaha mengembangkan kasus ini dan menganalisis apakah ada keterlibatan pihak lain dalam aksi pembunuhan yang terjadi, bukan berati publik, media massa khususnya, boleh mengembangkan kasus ini dengan “versi” sendiri. Ulasan media tentang latar belakang keluarga pelaku sangat mungkin menggiring publik turut menyalahkan keluarganya dalam keseluruhan episode kejahatan yang dilakukan Ryan.
Dodo, reporter senior berita kriminal di sebuah stasiun televisi, menambahkan, liputan dan tayangan berita kriminal sudah seperti perburuan sensasi infotainment. ”Yang dicari hanya kehebohan. Dampak pemberitaan kerap diabaikan,” kata Dodo.
Berdasarkan surat Keputusan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 009/SK/KPI/8/2004 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia, pasal 31 disebutkan, sesuai dengan kodratnya, lembaga penyiaran dapat menjangkau secara langsung khalayak yang sangat beragam baik dalam usia, latar belakang, ekonomi, budaya, agama, dan keyakinan. Karena itu, lembaga penyiaran harus senantiasa berhati-hati agar isi siaran yang dipancarkannya tidak merugikan, menimbulkan efek negatif, atau bertentangan dan menyinggung nilai-nilai dasar yang dimilki beragam kelompok khalayak tersebut.

Stereotipe Negatif Pemberitaan dan Dampak yang Ditimbulkan
Pemberitaan kasus Ryan yang sering dikaitkan dengan kehidupan seorang gay, dapat memicu timbulnya pelecehan kelompok masyarakat tertentu. Padahal lembaga penyiaran secara hukum dilarang menyiarkan program yang mengandung muatan yang dapat membangun atau memperkokoh stereotip negatif mengenai kelompok-kelompok masyarakat tersebut.
Menurut tori kultivasi (cultivation theory) yang diperkenalkan oleh Prof. George Gerbner, media (dalam konotasi yang lebih sempit, televisi) menjadi alat utama bagi audiens untuk belajar tentang masyarakat dan kultur di lingkungannya. Televisi sangat menentukan persepsi apa yang terbangun di benak penonton tentang masyarakat dan budaya. Ini berarti, seseorang belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai, serta adat kebiasaan melalui kontak dengan televisi (Nurudin, 2007: 167).
Ada sebagian pecandu berat televisi yang akan membentuk suatu citra realitas yang tidak konsisten dengan kenyataan. Padahal seperti yang dipaparkan sebelumnya, tidak selamanya berita yang ditayangkan televisi menunjukkan pada realitas yang sebenarnya. Tidak sedikit fakta di lapangan menunjukkan pada fenomena yang lebih baik atau sebaliknya terhadap isi pemberitaan. Tentunya persepsi yang terbentuk itu juga dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal di dalam lingkungan seseorang.
Saya rasa oknum media terlalu berlebihan dalam menyoroti kasus ini. Kehidupan pribadi keluarga Ryan yang notabene adalah hak privasi turut dieksploitasi sebagai bumbu penyedap sebuah tayangan. Media, dalam hal ini televisi terkesan terlalu memberhalakan rating dan cenderung mengorbankan pihak-pihak terkait yang bisa dibilang lemah posisinya di mata hukum.
Selama ini media cenderung menayangkan hal-hal yang menjadi keinginan publik, bukan kebutuhan publik. Porsi yang diberikan media dalam memenuhi kebutuhan masyarakat hendaknya seimbang antara unsur hiburan dan pengetahuan. Hal tersebut karena secara umum manusia mempunyai kebutuhan terhadap media massa seperti yang telah diklasifikasikan Katz, Guveritch dan Haas yaitu meliputi kebutuhan kognitif, afektif, integratif personal, integratif sosial dan kebutuhan akan pelarian (Liliweri, 1991: 137).
Perlu diperhatikan bahwa pengetahuan masyarakat kita masih sangat minim terkait dengan wacana melek media. Tak dapat dihindari apabila media meberitakan hal-hal yang kurang sesuai dengan fakta yang ada, misalnya dalam hal ini memberi stereotipe negatif terhadap kaum gay atau keluarga Ryan itu sendiri, maka kemungkinan besar masyarakat akan dengan mudah mempercayai dan menerima makna-makna yang disampaikan media apa adanya tanpa disertai upaya untuk mengkritisinya.
Media dan para pekerja pers sesungguhnya mempunyai tanggung jawab besar dalam memperbaiki mitos-mitos penuh kebohongan terhadap stereotipe negatif yang selama ini beredar di masyarakat. Pers sebaiknya tidak hanya mengandalkan laporan-laporan yang sekedar realitas psikologis (pendapat dan pandangan orang-orang), namun harus menekankan realitas sosiologis yang diperoleh dari lapangan dan informasi akurat dari nara sumber yang terlibat langsung di sana.
Untuk itu, diperlukan adanya perhatian khusus yang lebih banyak dicurahkan kepada pemanfaatan media massa yang secara teknologis telah begitu pesat dipergunakan di Indonesia. Karena pada kenyataannya, media massa yang ada tidak banyak digunakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan terkadang justru memicu disintegrasi antar kelompok masyarakat karena adanya unsur pendiskriminasian dalam suatu pemberitaan yang ditayangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Effendy, Onong Uchjana. 2008. Dinamika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Liliweri, Alo. 1991. Memahami Peran Komunikasi Massa dalam Masyarakat. Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti.
Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada.
Mulyana, Deddy. 2004. Komunikasi Populer: Kajian Komunikasi dan Budaya Kontemporer. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Prajarto, Nunung. 2006. Media Komunikasi; siapa Mengorbankan Siapa. Yogyakarta: Penerbit FISIPOL UGM.
Soelaeman, M. Munandar. 2006. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: PT Refika Aditama.
Wahidin, Samsul dkk. 2006. Filter Komunikasi Media Elektronika. Yogyakarta: Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Kalimantan Selatan dan Pustaka Pelajar.
Winarni. 2003. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Malang: UMM Press.
http://metro.vivanews.com/news/read/20087-istri_korban_mutilasi_bersaksi
http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/17/11113411/polisi.pengungkap.kasus.ryan.dapat.penghargaan.
http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=25418
http://www.sarapanpagi.org/media-bisa-menginspirasi-kejahatan-vt2423.html